Boenga Roos dari Tjikembang (novel)
Boenga Roos Dari Tjikembang (EYD: Bunga Roos Dari Cikembang) adalah novel berbahasa Melayu rendah tahun 1927 yang ditulis oleh Kwee Tek Hoay. Buku tujuh belas bab ini menceritakan seorang manajer perkebunan bernama Oh Aij Tjeng (EYD: Oh Ay Cheng) yang harus meninggalkan nyai (pasangan tanpa hubungan pernikahan) tercintanya, Marsiti, sehingga ia bisa menikah. Delapan belas tahun kemudian setelah putri Aij Teng, Lily meninggal, calon anak-mertua Aij Tjeng, Bian Koen menemukan bahwa Marsiti memiliki seorang putri, Roosminah, yang sangat mirip dengan Lily. Bian Koen dan Roosminah lalu menikah. Terinspirasi oleh lirik lagu berbahasa Inggris "If Those Lips Could Only Speak" (bahasa Indonesia: "Jika Bibir Itu Dapat Berbicara") dan sandiwara "Impian di Tengah Musim" karya William Shakespeare, Boenga Roos Bahasa Dari Tjikembang awalnya ditulis sebagai cerita garis besar untuk grup drama panggung Union Dalia. Kwee mencampurkan beberapa bahasa lainnya, khususnya Belanda, Sunda, dan Inggris; ia memasukkan dua kutipan dari puisi bahasa Inggris dan satu lagi dari lagu bahasa Inggris. Novel ini telah ditafsirkan berbagai sebagai suatu promosi teosofi, sebuah risalah pada konsep reinkarnasi Buddhisme, panggilan untuk pendidikan, sebuah ode penghormatan untuk para nyai, dan kecaman terhadap bagaimana mereka diperlakukan kala itu. Novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung di majalah Panorama milik Kwee; cerita ini segera terbukti menjadi karyanya yang paling populer. Tahun 1930 telah ditemukan beberapa adaptasi drama panggung yang tidak resmi, sehingga membuat Kwee meminta para pembacanya untuk membantu dia menegakkan hak ciptanya atas karyanya tersebut. Karya ini difilmkan dua kali, pertama yaitu Boenga Roos dari Tjikembang (1931) oleh The Teng Chun kemudian Bunga Roos (1975) oleh Fred Young. Buku ini, meskipun tidak dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia, memiliki peringkat di antara karya paling dicetak ulang dalam sastra Melayu Tionghoa. Karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dan Inggris. AlurOh Aij Tjeng adalah seorang pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengan nyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun, tidak lama setelah itu, ayah Aij Tjeng, Oh Pin Loh datang untuk memberitahu Aij Tjeng bahwa ia telah ditunangkan dengan Gwat Nio, putri dari Liok Keng Djim, pemilik perkebunan tersebut. Marsiti pun diusir pergi oleh Oh tua. Aij Tjeng memerintahkan Tirta, pelayannya untuk menemukan Marsiti, tetapi ia pun ikut menghilang. Setelah menikah, Aij Tjeng menemukan dalam diri Gwat Nio semua sifat sama yang membuatnya jatuh cinta dengan Marsiti, bahkan lebih halus. Dia jatuh cinta dengan Gwat Nio dan mulai melupakan Marsiti. Tidak lama kemudian Keng Djim memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari nyai-nya, seorang pribumi yang dimilikinya saat muda, dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan, tetapi meninggal sebelum dia bisa mengungkapkannya. Aij Tjeng mencari ayahnya, untuk menanyakan rahasia tersebut, tetapi menemukan bahwa ayahnya juga telah meninggal. Delapan belas tahun kemudian, Lily, putri Aij Tjeng dan Gwat Nio, bertunangan dengan seorang pemuda Tionghoa kaya bernama Sim Bian Koen. Lily, meskipun cantik dan berbakat, terobsesi dengan kematian dan kesedihan; dia sangat mempercayai bahwa dia ditakdirkan untuk mati muda. Dia akhirnya memberitahu Bian Koen untuk menemukan tunangan lain karena ia akan segera meninggalkan dia. Ia jatuh sakit tak lama kemudian, dan dokter tidak dapat menyelamatkannya. Hal ini mendorong Bian Koen mempertimbangkan bunuh diri, sehingga Aij Tjeng dan Gwat Nio mengalami kesedihan dan goncangan psikologis. Pada tahun berikutnya Aij Tjeng dan Gwat Nio telah pulih, setelah pindah jauh dan beralih ke agama. Namun Bian Koen, tetap ingin mengakhiri hidupnya, dan bermaksud untuk pergi berperang di China untuk menemukan kematian; satu-satunya hal yang menahan dia adalah janjinya untuk menunggu hari peringatan kematian Lily. Suatu hari, saat ia melewati desa Cikembang, ia menemukan sebuah makam yang sangat terawat. Saat ia memeriksa daerah itu, ia melihat Lily. Dia menolak pelukannya dan lari. Ketika Bian Koen mengejarnya, Bian Koen jatuh dan pingsan. Ketika ia bangun di rumahnya, Bian Koen memberitahu orangtuanya bahwa ia melihat Lily di Cikembang. Setelah menyelidiki, keluarga tersebut menemukan bahwa "Lily" yang dilihat Bian Koen sebenarnya adalah putri Aij Tjeng dan Marsiti, Roosminah, yang dibesarkan secara rahasia oleh Tirta, setara dengan Lily dalam segala hal. Karena kecantikannya, ia dikenal sebagai "Bunga Roos (Mawar) dari Cikembang ". Keluarga Bian Koen menghubungi Aij Tjeng, dan setelah mengetahui latar belakang Roosminah, mereka memberikan Roosminah identitas Lily. Pernikahan mewah nya dengan Bian Koen dihadiri oleh ribuan orang, termasuk roh Marsiti. Lima tahun kemudian, Bian Koen dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti) membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya. PenulisanBoenga Roos Dari Tjikembang ditulis oleh jurnalis Kwee Tek Hoay. Lahir dari seorang pedagang tekstil etnis Tionghoa dan istri pribuminya,[1] Kwee dibesarkan dalam budaya Tionghoa dan sekolah yang berfokus pada modernitas. Pada saat ia menulis novel ini, Kwee adalah seorang pendukung aktif teologi Buddhisme. Namun, ia juga banyak menulis tentang tema yang berkaitan dengan pribumi[2] dan adalah seorang pengamat sosial yang tajam.[3] Kwee banyak membaca dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu; Ia mendapat banyak pengaruh dari bacaan-bacaan ini setelah menjadi penulis.[4] Novel pertamanya, Djadi Korbannja "Perempoean Hina", diterbitkan pada tahun 1924.[5] Kwee menulis bahwa ia terinspirasi untuk menulis novel ini setelah mendengar putrinya bernyanyi lagu karya Charles Ridgewell dan Will Godwin berjudul "If Those Lips Could Only Speak" ("Jika Bibir Itu Dapat Berbicara" -diidentifikasi oleh Kwee sebagai "Mimi d'Amour"). Ia dikejutkan oleh lirik melankolis lagu tersebut dan memutuskan untuk menulis "sebuah kisah atau drama komedi sedih" yang didasarkan pada lagu tersebut. Namun, dia tidak memulai proses penulisan sampai Februari 1927, ketika Union Dalia Opera meminta izin untuk menampilkan karyanya sebelumnya, Allah jang Palsoe (1919). Karena ia menganggap karya tersebut terlalu sulit bagi grup drama panggung pribumi tersebut, ia mulai menulis garis besar cerita asli untuk penampilan mereka berdasarkan renungannya. Union Dalia menampilkan Boenga Roos Dari Tjikembang pada tanggal 5 Maret 1927, berdasarkan garis besar yan ditulis Kwee. Namun novel ini tidak selesai hingga 20 April.[6] Selama percakapan dengan sesama penulis, Khouw Sin Eng, Kwee mengatakan bahwa sebagian dari cerita novel ini didasarkan pada Impian di Tengah Musim karya William Shakespeare, terutama saat seorang yang telah mati terlihat hidup kembali.[5] Boenga Roos Dari Tjikembang dibagi menjadi tujuh belas bab[7] dan cetakan pertama panjangnya 157 halaman.[8] Dengan demikian, novel ini jauh lebih pendek dari beberapa karya lain Kwee. Drama Dari Merapi panjangnya 620 halaman, sementara Drama di Boven Digoel, karya terpanjangnya, adalah 718 halaman.[1] Penterjemah George A. Fowler menulis bahwa, dibandingkan karya tulis yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, buku ini tidak mengalami penyuntingan salinan profesional sebelum publikasinya; ini adalah umum untuk karya sastra Melayu Tionghoa kala itu, yang "tidak pernah, atau memang menginginkan filter 'selera sastra' editor Eropa yang korektif dan preskriptif".[9] Gaya penulisanBoenga Roos Dari Tjikembang ditulis dalam bahasa Melayu rendah, karena umum untuk karya-karya penulis kontemporer Tionghoa di Hindia Belanda.[10] Kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo menulis bahwa dengan penggunaan bahasa ini oleh Kwee, yang umum dalam masyarakat kontemporer kala itu, karya ini adalah lebih "modern" dibandingkan sebagian besar publikasi Balai Pustaka yang lebih formal, mungkin dengan perkecualian Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (yang diterbitkan pada tahun berikutnya): karya ini tetap fokus pada peristiwa penting, yang diperlukan untuk memajukan cerita secara keseluruhan.[11] Buku ini menggunakan kata-kata non-Melayu dengan biasa: Sumardjo menghitung 87 kata-kata bahasa Belanda, 60 dari bahasa Sunda, dan 14 dari bahasa Inggris.[12] Selama dialog, diksi novel ini tergantung pada latar belakang sosial karakter: Sumardjo menulis bahwa Marsiti berbicara seperti layaknya warga miskin yang berpendidikan rendah, dan bahwa ayah dan ayah-mertua Aij Tjeng menggunakan konstruksi dan nasihat hanya masuk akal jika datang dari orang tua. Dia menemukan hanya satu karakter, yaitu Bian Koen yang dididik di Columbia University, sebagai tidak realistis, karena rentan terhadap emosionalitas, sesuatu yang tidak sesuai dengan pendidikan dan pengalaman hidup yang dimilikinya.[13] Dalam saat lain Kwee membangun ketegangan dengan penggunaan yang sangat sering dari elipsis, suatu teknik yang Sumardjo berpendapat terinspirasi oleh cerita silat kontemporer.[14] Seperti umumnya dalam novel kontemporer seperti Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli, Boenga Roos Dari Tjikembang memuat bagian yang berbentuk sajak. Salah satunya, sebuah karya asli dalam bahasa Sunda, dilantunkan oleh Marsiti setelah menceritakan rahasia mimpinya kepada Aij Tjeng.[11] Dua sajak lainnya dikutip dari puisi Inggris. Yang pertama adalah sebuah karya tak berjudul dari penyair Irlandia Thomas Moore,[15] dimulai dengan baris "Pergilah, biarkan aku menangis".[16] Yang kedua adalah epigraf dari novel Hyperion (1839) oleh penulis Amerika Henry Wadsworth Longfellow.[15] Potongan sajak terakhir, juga dalam bahasa Inggris, adalah lirik lagu yang menginspirasi Kwee untuk menulis novel ini.[17] Terjemahan berbahasa Melayu disediakan untuk semua kutipan berbahasa Inggris.[15]
Tema novelDalam kata pengantarnya, Kwee menulis bahwa Boenga Roos dari Tjikembang dimaksudkan untuk membawa pembacanya untuk mempertimbangkan bagaimana nasib sering bertentangan dengan keinginan-keinginan mereka yang terlibat.[19] Namun pembacaan secara kritis telah menciptakan beragam pendapat. Sidharta mencatat bahwa buku ini penuh dengan mistisisme yang umum pada waktu itu,[4] begitu pula ahli kebudayaan Tionghoa John Kwee yang menyebutkan empat contoh: mimpi Marsiti, yang kemudian terbukti menjadi nyata bak ramalan, di mana ia secara paksa dipisahkan dari Aij Tjeng meskipun dia terikat janjinya bahwa mereka tak akan pernah berpisah; sebuah ide tentang bersatu-kembalinya seseorang dengan orang yang dicintai setelah kematian; roh Marsiti yang menghadiri pernikahan putrinya, dan adegan menjelang akhir novel ini di mana roh Marsiti memandu putri Roosminah untuk memetik bunga untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio.[20] Sutedja-Liem, dalam nada yang sama, menekankan kekuatan mistis yang tampaknya dimiliki Marsiti. Dia menyimpulkan bahwa pengabaian realisme ini memberikan buku ini (yang mengandung pesan "modern"), sebagai "anti-modern".[21] Nio Joe Lan, dalam buku sejarah sastra Melayu Tionghoa yang ditulisnya, mencatat bahwa Kwee adalah satu-satunya penulis roman dari etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang juga menulis tentang filsafat Timur (terutama filsafat Tionghoa). Dia menemukan bahwa mistisisme telah menjadi tema umum dalam karya Kwee, mencatat hal ini telah sangat berkembang dengan baik dalam novel Kwee di kemudian hari, Soemangetnja Boenga Tjempaka.[22] Berprinsip pada hal ini, Eric Oey dari University of California, Berkeley, menulis bahwa mistisisme novel ini terbangun menjadi sebuah promosi teosofi dan idealisme Buddhisme: Aij Tjeng dan Gwat Nio terjun dalam keduanya, yang kemudian meninggalkan kehidupan materialistik mereka untuk menjadi lebih spiritual. Pada akhirnya, ia menulis, konsep tentang reinkarnasi diajukan ketika Roosminah ditemukan setelah kematian Lily.[23] Faruk dari Universitas Gadjah Mada juga mencatat konsep reinkarnasi novel ini, dengan penekanan yang diulang pada hubungan paralel (baik fisik dan psikologis) di antara saudara se-ayah; Marsiti dan Gwat Nio, begitu pula Lily dan Roosminah.[24] Ahli kebudayaan Tionghoa Myra Sidharta, berdasarkan keterkaitan yang sama antara Marsiti dan Gwat Nio, tidak berpendapat mengenai ide reinkarnasi, melainkan menulis bahwa hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam cinta seorang nyai dan seorang istri yang dinikahi secara resmi.[25] Sumardjo menulis bahwa novel ini adalah sebuah ode penghormatan untuk para nyai, mengutip kesetiaan Marsiti pada Aij Tjeng dan kemurnian tujuan Marsiti dalam hal ini. Ketika kuburan Marsiti di Cikembang dipindahkan ke Batavia, dengan ruang-ruang kosong di kedua sisinya untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio, Marsiti pada akhirnya diakui atas pengabdiannya. Sumardjo menemukan kritikan halus kepada orang-orang Belanda dan Tionghoa kala itu yang menyimpan nyai, menunjukkan bahwa pada kala itu perempuan sering kali menjadi korban kekasih mereka. Dia berpendapat bahwa hal ini diwujudkan dalam karakter nyai milik Keng Djim (Ibunda Marsiti) yang tidak disebutkan namanya, yang diusir dan dibuang setelah rumor menyebar bahwa dia telah tidak setia.[26] Penterjemah Maya Sutedja-Liem juga menekankan peran nyai dalam cerita ini, menyebutnya sebagai sebuah ode penghormatan untuk cinta dan kesetiaan dari para selir.[1] Sidharta berpendapat bahwa novel ini ditulis sebagai argumen bahwa anak-anak tidak sah dari para nyai pun mampu berkembang normal layaknya manusia pada umumnya, bila mendapat pendidikan yang layak.[4] Sutedja-Liem juga menemukan bahwa kebutuhan akan pendidikan (termasuk pemahaman tentang musik) adalah sesuatu yang tersirat dan ditemukan dalam novel ini. Namun, tidak seperti Sidharta, dia menganggap pesan ini diarahkan tidak hanya pada anak-anak para nyai, tetapi wanita pada umumnya.[27] Bahwa hanya dengan mendapat pendidikan dan mengikuti etiket Tinghoa dan Eropa lah seorang perempuan dapat dianggap benar-benar "modern".[1] Sejarah penerbitanBoenga Roos Dari Tjikembang awalnya diterbitkan pada tahun 1927, sebagai cerita bersambung di majalah Panorama milik Kwee, berjalan dari bulan Maret sampai September.[8] Cerita ini disusun sebagai buku di akhir tahun tersebut dan diterbitkan oleh Hoa Siang In Kiok.[8] Cetakan ini, dengan slogan "Roh manoesia djadi mateng dalem tangis / The soul ripens in tears" di sampulnya,[11] terjual habis.[28] Namun, Kwee berpendapat bahwa "pekerjaan mengarang cerita Melayu ... tidak memberi hasil yang cukup untuk hidup" .[a][29] Buku ini kemudian terbukti menjadi salah satu novel Kwee yang paling populer, dan merupakan salah satu karya yang paling sering dicetak ulang dalam sastra Melayu Tionghoa.[30] Cetakan kedua buku ini adalah pada tahun 1930, oleh Panorama,[31], dan pencetakan ketiga oleh Swastika pada tahun 1963;[8] pada saat itu novel ini adalah satu-satunya karya sastra Melayu Tionghoa yang telah diterbitkan ulang setelah Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949).[32] Sidharta mencatat pencetakan keempat pada tahun 1972, meskipun dia tidak mencatat nama penerbitnya.[4] Sebuah versi pencetakan baru yang mengadaptasi reformasi ejaan 1972, dimuat dalam jilid kedua dari Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah buku antologi sastra Melayu Tionghoa.[33] Beberapa terjemahan novel ini telah dibuat. Pada tahun 2007 Boenga Roos Dari Tjikembang diterjemahkan ke bahasa Belanda sebagai De roos uit Tjikembang oleh Sutedja-Liem; edisi ini diterbitkan oleh KITLV.[21] Pada tahun 2013 Yayasan Lontar menerbitkan sebuah terjemahan bahasa Inggris oleh Fowler dengan judul The Rose of Cikembang.[34] TanggapanPertunjukan panggung dan adaptasi dari Boenga Roos dari Tjikembang dimulai sebelum novel ini selesai, dimulai dengan penampilan grup sandiwara Union Dalia pada tahun 1927.[6] Pada tahun 1930 banyak grup-grup sandiwara pribumi dan etnis Tionghoa telah menampilkan cerita ini;[29] beberapa mendapat bantuan langsung dari Kwee.[32] Meskipun pertunjukan-pertunjukan panggung ini kadang-kadang diakui sebagai penyebab kesuksesan novel ini, Kwee mengabaikan ide ini, menulis bahwa dua media tersebut adalah berbeda dan, dalam adaptasi-adaptasi, perubahan diperlukan. Dia mencatat kecenderungan kelompok-kelompok pribumi untuk menekankan peran Marsiti sebagai salah satu perubahan tersebut[29], begitu pula adaptasi-adaptasi lainnya - kecuali yang ditampilkan oleh Dardanella - sebagai berkualitas buruk; ia menulis bahwa mereka umumnya tidak membayar dia untuk hak dalam menggunakan cerita tersebut. Pada edisi tahun 1930 Kwee meminta pembaca untuk menginformasikan Panorama tentang setiap pertunjukan ilegal, untuk membantu dia menegakkan hak ciptanya.[35] Sandiwara panggung karya ini berlanjut sampai tahun 2000-an.[36] Novel ini telah dua kali diadaptasi sebagai film layar lebar. Adaptasi pertama, Boenga Roos dari Tjikembang dirilis pada tahun 1931 dan disutradarai oleh The Teng Chun.[37] Ahli kebudayaan Tionghoa Leo Suryadinata memberikan gelar untuk film ini sebagai film suara pertama yang diproduksi di dalam negeri di Hindia Belanda,[38] meskipun sejarawan film Misbach Yusa Biran berpendapat ada film suara dalam negeri lainnya yang dirilis pada tahun 1930.[39] Pada tahun 1975 sebuah adaptasi lainnya dibuat oleh Fred Young dengan judul Bunga Roos, mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan. Meskipun garis besar utama ceritanya tetap sama, beberapa nama tokoh Tionghoa di-Indonesiakan. Oh Aij Tjeng, misalnya, berganti nama menjadi Wiranta, sementara Gwat Nio diubah menjadi Salmah.[40] Nio menguraikan buku ini sebagai "cerita tragis yang indah"[b] yang "menawan hati."[41] Fowler menulis bahwa cinta antara Aij Tjeng dan Marsiti ditangani dengan "kehalusan dan kelembutan yang tidak biasa" walaupun adanya pengucilan sosial yang dihadapi oleh para "nyai" kala itu.[42] Peneliti sastra Indonesia Jakob Sumardjo menulis bahwa, meskipun dalam kebanyakan karyanya, Kwee tampaknya sangat mengedepankan sudut pandangnya pada pembacanya sampai ke titik di mana "merobek keseimbangan struktural novel", cacat ini tidak hadir dalam Boenga Roos dari Tjikembang; melainkan Sumardjo menemukan novel ini "... benar-benar bagus dalam bentuk dan tekniknya, meskipun dari segi gagasan mungkin tidak begitu besar artinya."[43] Novel ini, seperti halnya dengan semua hasil karya tulis dalam bahasa Melayu rendah kala itu, belum dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia.[10] Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez berpendapat mengenai penyebab sosio-politik hal ini. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menggunakan bahasa Melayu tinggi sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sementara kaum nasionalis Indonesia lalu menyesuaikan bahasa ini untuk membantu membangun sebuah budaya nasional. Sastra Melayu Tionghoa, yang ditulis dalam Melayu "rendah" kemudian menjadi kian terpinggirkan.[44] Namun Sumardjo melihat pertanyaan tentang klasifikasi: meskipun Melayu rendah adalah lingua franca Hindia Belanda kala itu, bahasa ini bukan bahasa Indonesia, dan karena itu, ia bertanya apakah karya dalam bahasa Melayu rendah harus diklasifikasikan sebagai sastra lokal, sastra Indonesia, atau hanya sastra Melayu Tionghoa.[10] Catatan kakiReferensi
Referensi
|