Benthik Yogyakarta

Benthik adalah salah satu permainan rakyat yang biasa dimainkan oleh anak-anak.[1] Nama permainan ini berasal dari onomatope "thik... thik..." saat kedua ranting permainan, yaitu benthong dan janak, saling dipukulkan.

Permainan

Yang diperlukan

Perlengkapan benthik tak memerlukan alat yang rumit untuk didapat. Untuk memainkan benthik hanya perlu dua ranting kayu yang panjang sekitar 30 cm (disebut “benthong”), dan yang pendek sekitar 10 cm (disebut “janak”). Umumnya, antara benthong dan janak memiliki diameter yang sama, yaitu sekitar 1 cm; bahkan umumnya benthong dan janak diambil dari ranting dengan jenis pohon dan batang yang sama. Saat kedua ranting ini beradu (dipukulkan) maka muncul suara “thik ... thik”. Dari onomatope itulah, permainan ini disebut “Benthik”. Ranting panjang digunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek.

Untuk memainkan benthik diperlukan halaman yang bersih, rata dan cukup luas. Selain itu, di sekitar halaman diusahakan tak terlalu banyak orang yang berlalulalang, karena dapat membahayakan mereka apabila terkena janak yang terlempar karena dipukulkan dengan benthong.

Cara bermain

Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah tempat janak akan diletakkan, posisinya melintang di atasnya. Agar tongkat tak mudah patah saat digunakan, hanya kayu berstruktur ulet dan kuat yang boleh digunakan, seperti kayu pohon Jambu Biji, Mangga, Lengkeng, Kemuning, atau sejenisnya.

Benthik diawali dengan hompimpa. Tentunya siapa yang menang, maka akan memperoleh giliran main yang pertama. Sementara itu, pihak yang kalah mau tak harus menunggu. Selanjutnya, pemain memasang tongkat yang pendek di atas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat janak harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan benthong, supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut sebagai nyuthat.

Bila lawan berhasil menangkap janak yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan angka. Pihak lawan biasanya akan berusaha sebisanya untuk dapat menangkap janak, agar mendapatkan angka sebelum gilirannya untuk bermain. Besarnya angka ditentukan dari cara pihak lawan menangkap janak; 10 angka untuk menangkap dengan kedua tangan, 25 angka untuk menangkap dengan tangan kanan saja, dan 50 angka apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri saja.

Tahap kedua dari permainan benthik adalah ”Namplek”. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Pemain harus melempar tongkat pendek ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang jaga harus melempar tongkat pendek ke arah sang pemain. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek atau tidak. Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak angka yang akan didapatkan.

Tahap ketiga benthik disebut ”Nuthuk”. Pada tahap ini, pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin.

Hikmah

Permainan benthik tidak sekadar menyenangkan, tapi di dalamnya juga terkandung falsafah kehidupan yang dapat dipetik pada kehidupan nyata. “Hongpimpa Alaium Gambreng”, kalimat yang biasa diucapkan oleh para pemain sebelum permainan dimulai – untuk menentukan siapa yang berhak bermain terlebih dahulu – memiliki makna agung, “Dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain.” Kalimat ini merupakan sebuah pengingat disaat bermain, sekalipun bahwa manusia adalah milik Tuhan. Karena kita ada yang memiliki, maka dari itu setiap perbuatan akan dipertanggung-jawabkan kepada Dzat Pemilik kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Referensi

  1. ^ Palusen, Dais Dharmawan (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018. Jakarta, Indonesia: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 180. 
Kembali kehalaman sebelumnya