Batik Semen Kakrasana


Batik Semen Kakrasana adalah salah satu jenis batik semen yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.[1] Pola batik semen kakrasana terdiri dari sembilan motif utama.[1] Posisi pohon hayat di samping kanan-kiri atas sepanjang motif-motif garuda.[1] Di samping kanan-kiri bawah terdapat motif binatang berkaki empat, di bawah pohon hayat terdapat motif garuda, dan di bawahnya terdapat empat pasang motif ayam.[1] Di atas pohon hayat terdapat motif meru, kemudian di samping kanan-kiri atas terdapat motif baito, di atas meru juga terdapat motif sepasang burung dan sua pasang motif ikan.[1] Secara keseluruhan motif pohon hayat di atasnya motif meru dikelilingi oleh motif binatang darat, air, dan udara seolah menjaga keberadaan pohon hayat.[1]

Nama semen kakrasana diambil dari tokoh pewayangan R. Kakrasana.[2] Ia merupakan salah satu raja mandura yang pada akhirnya menjadi begawan pada Kerajaan Hastina Pura ketika rajanya R. Parikesit.[2] Penggambaran pada batik tersebut memberi konotasi tentang simbolisme R. Kakrasana yang pada awalnya merupakan penggambaran watak raja yang cepat marah, namun karena kesadaran diri, akhirnya mampu mengendalikan amarah, kemudian raja tersebut menjadi sesepuh.[2] Batik ini juga menyampaikan pesan bahwa seorang raja harus mampu memimpin dirinya sendiri, sekaligus mampu memimpin raja muda, serta memimpin rakyatnya.[2]

Batik Semen Kakrasana dibuat ketika pemerintahan Paku Buwono IX di Keraton Surakarta.[3] Semen Kakrasana menggambarkan keteguhan hati, berjiwa kumawulo (merakyat) atau bisa digunakan oleh masyarakat umum.[3]

Delapan motif yang dimiliki batik semen kakrasana ini mencerminkan delapan brata atau asta brata.[4] Asta-brata merupakan ajaran keutamaan yang mencerminkan ekspresi budaya Jawa.[4] Pandangan tersebut mengandung wacana falsafah tentang potret seorang pemimpin bijaksana yang mementingkan kepentingan jagat (negara) di atas kepentingan pribadi (kautaman).[4]

Kemudian, pandangan atau ajaran tersebut dilukiskan ke dalam batik jenis semen kakrasana yang menggunakan depalan motif utama sesuai dengan ajaran Astabrata.[5] Secara simbolik motif-motif tersebut melambangkan:[5]

1. Indra brata dilambangkan sebagai Dewa Indra, bratanya bersifat darma, digambarkan dengan motif Pohon Hayat

2. Surya brata dilambangakan sebagai Dewa Surya, Bratanya ialah sifat dan watak matahari digambarkan dengan motif garuda

3. Bayu brata dilambangkan sebagai Dewa Anila atau Bayu (Dewa Angin) digambarkan dengan motif burung

4. Kuwera brata dilambangkan sebagai Dewa Kuwera, bratanya ialah sifat dan watak bintang (kartika) digambarkan dengan motif pusaka

5. Baruna brata dilambangkan sebagai Dewa Baruna digambarkan dengan motif baito (kapal) dan beberapa jenis binatang yang hidup di air

6. Agni brata dilambangkan sebagai Dewa Agni/ Dewa Brama, bratanya ialah sifat dan watak Dahana atau Api digambarkan dengan motif lidah api

7. Yama brata dilambangkan dengan Dewa Yama, bratanya ialah sifat dan watak buma (tanah) digambarkan dengan motif tanah

8. Sasi brata dilambangkan dengan Dewa Candra, bratanya ialah sifat dan watak Candra (bulan) digambarkan dengan motif binatang darat

Referensi

  1. ^ a b c d e f Susanto. Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan
  2. ^ a b c d Sudarmono. Dinamika Kultural Batik Klasik Jawa. 1990. Surakarta: TBS
  3. ^ a b satulingkar.com[pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c Sujamto. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. 1992. Semarang: Dhahara Prize
  5. ^ a b Sony Kartika. Dharsono. Budaya Nusantara: Kajian Konsep Mandala dan Konsep Triloka/Buana terhadap Pohon Hikayat pada Batik Klasik. 2007. Bandung: Rekayasa Sains
Kembali kehalaman sebelumnya