Banjir Jepang 2018
Pada akhir Juni hingga pertengahan Juli 2018, hujan deras yang terus menerus terjadi di wilayah barat daya Jepang mengakibatkan bencana banjir dan banjir lumpur meluas dan menghancurkan. Peristiwa ini secara resmi disebut sebagai 平成 30 年7月豪雨 (Hujan deras di bulan Juli Heisei 30) oleh Badan Meteorologi Jepang.[1] Hingga 14 Juli, 222 orang dikonfirmasi tewas di 13 prefektur dengan 30 lainnya dilaporkan hilang.[2] Lebih dari 8 juta penduduk diimbau atu didesak untuk mengungsi yang tersebar di 23 prefektur.[3] Ini merupakan bencana banjir air tawar yang paling mematikan di negara ini sejak Banjir Nagasaki 1982 ketika 299 orang tewas.[4] Sekitar 54.000 anggota Pasukan Bela Diri Jepang, polisi, dan pemadam kebakaran dikerahkan untuk mencari orang-orang yang terperangkap atau terluka akibat dari dampak tanah longsor dan banjir yang dipicu oleh hujan lebat, sementara pemerintah Jepang telah membentuk unit penghubung di pusat manajemen krisis kantor perdana menteri untuk menghimpun informasi.[5] DampakPada 3 Juli 2018, Topan Prapiroon mendatangkan hujan lebat dan angin ke barat daya Jepang.[6] Selama beberapa hari berikutnya, aliran selatan dari topan menimbulkan peningkatan kelembaban yang kemudian berinteraksi dengan front stasioner musiman.[6][7] Banjir mematikan dimulai pada 5 Juli, terutama di region Kansai yang diguncang oleh gempa mematikan tiga minggu sebelumnya. Hujan lebat kemudian menyebar ke petak-petak besar negara itu,[8] meluas jauh ke barat hingga Prefektur Okinawa.[7] Beberapa wilayah mengalami rekor curah hujan satu jam dan tiga hari terbesar mereka.[6] Beberapa wilayah terkena lebih dari 1.000 mm (39 in) curah hujan, mendorong Badan Meteorologi Jepang (JMA) untuk mengeluarkan peringatan hujan lebat darurat[note 1] untuk delapan prefektur: Okayama, Hiroshima, Tottori, Fukuoka, Saga, Nagasaki, Hyogo, dan Kyoto.[9][10] Ini merupakan peringatan terbesar yang dikeluarkan sejak implementasinya. Seorang pejabat di JMA menggambarkan peristiwa ini sebagai "hujan lebat pada tingkat yang belum pernah kami alami".[9] Hujan deras memicu tanah longsor dan banjir bandang, dengan ketinggian air mencapai 5 m (16 ft) di wilayah yang terkena paling parah.[10] Motoyama, Kōchi, terjadi 584 mm (23,0 in) hujan antara 6 dan 7 Juli.[11] Satu kota di Kōchi mencatat curah hujan 263 mm (10,4 in) dalam dua jam.[12] Gunung Ontake mengalami rekor curah hujan tiga hari terbesarnya pada 655,5 mm (25,81 in).[6] Saat hujan berkurang pada 9 Juli, muncul kekhawatiran mengenai suhu tinggi dengan suhu tertinggi mencapai 30 °C (86 °F), ditambah dengan sekitar 11.200 rumah tangga tanpa listrik, kekhawatiran atas sengatan bahang dan air minum yang terkontaminasi meningkat.[13] KorbanDi seluruh wilayah yang terdampak, sedikitnya 155 orang tewas dalam berbagai insiden terkait hujan,[14] terutama karena longsoran lumpur, tanah longsor, dan kendaraan tersapu oleh air bah.[15] Kebanyakan korban tewas karena telah mengabaikan perintah evakuasi, dan memilih untuk tetap tinggal di rumah mereka meskipun peringatan berulang-ulang.[16] Polisi menerima berbagai laporan di seluruh negara mengenai penduduk yang terperangkap di rumah-rumah yang tertimbun tanah longsor, orang-orang yang hanyut oleh sungai yang meluap, dan dari orang-orang yang terperangkap di dalam mobil. Setidaknya sepuluh orang tertimbun di dalam rumah mereka di Higashihiroshima; tim penyelamat berhasil mengonfirmasi tujuh selamat namun masih terperangkap hingga 7 Juli.[17] Prefektur Hiroshima melaporkan korban jiwa terbanyak yakni 47 orang; 25 tewas di Prefektur Ehime; 36 tewas di Prefektur Okayama; 14 tewas di prefektur-prefektur Yamaguchi, Kyoto, Gifu, Shiga, Hyogo, Kochi, dan Fukuoka dan 33 lainnya di lokasi yang tidak diketahui.[18] Bantuan internasionalTaiwan mengumumkan bahwa mereka akan menyumbangkan 20 juta yen untuk bantuan bencana.[19] Lihat pula
CatatanReferensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai July 2018 West Japan Cloudburst. |