Bahasa Isyarat Indonesia
Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) adalah bahasa isyarat yang berlaku di Indonesia. Berbeda dari SIBI yang merupakan sistem buatan dan bukan merupakan bahasa, BISINDO merupakan bahasa ibu yang tumbuh secara alami pada kalangan komunitas Tuli di Indonesia. Perbedaan lainnya adalah SIBI menggunakan isyarat khusus untuk morfem imbuhan mengikuti bahasa Indonesia, sehingga kata-katanya jauh lebih panjang daripada kata-kata dalam bahasa isyarat alami seperti BISINDO.[4] BISINDO kemudian diteliti dan dikembangkan oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) serta Laboratorium Riset Bahasa Isyarat FIB UI. PengertianIstilah BISINDO digunakan pertama kali dalam resolusi kongres ke-7 Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) yang diselenggarakan di Makassar pada tahun 2006. Walaupun begitu, istilah BISINDO tidak memiliki pengertian yang pasti. Linguis Nicholas Palfreyman (yang juga seorang Tuli) mencatat tiga pandangan mengenai BISINDO, yaitu 1) bahwa BISINDO adalah bahasa isyarat yang digunakan oleh kaum Tuli di Indonesia, dan setiap isyarat dari berbagai ragam harus dipilih untuk disatukan menjadi ragam baku yang definitif; 2) bahwa BISINDO adalah ragam bahasa isyarat yang digunakan di Jakarta, dan ragam inilah yang mesti dipopulerkan ke seluruh Indonesia; dan 3) bahwa BISINDO merupakan bahasa isyarat yang digunakan oleh kaum Tuli di Indonesia dengan berbagai ragam, dan bahwa ragam-ragam daerah ini unik dan mesti dipromosikan tanpa harus dibakukan. Pandangan ketiga, menurut Palfreyman, merupakan pandangan yang relatif banyak didukung akhir-akhir ini.[5] RagamSurvei kilat bahasa isyarat di beberapa provinsi Indonesia yang dilakukan oleh Hope Hurlbut (2014) menghasilkan gambaran hubungan leksikal yang tidak begitu jelas antarragam BISINDO di tiap provinsi. Namun, ketika ragam dari pulau yang sama dibandingkan, tingkat kesamaan leksikal yang dihasilkan lebih tinggi, dan Hurlbut menyimpulkan bahwa BISINDO merupakan satu bahasa.[6] Sementara, perbandingan leksikal antara ragam bahasa isyarat yang digunakan di Jakarta dan Yogyakarta yang dilakukan oleh beberapa penulis menyimpulkan bahwa keduanya merupakan bahasa yang berbeda, sebab keduanya hanya memiliki sekitar 65% kesamaan dalam leksikonnya.[7][8] Di sisi lain, Palfreyman mengkritisi penggunaan metode leksikostatistik untuk menggolongkan bahasa isyarat tanpa memerhatikan variasi linguistik internal dan identitas pengguna bahasa isyarat itu sendiri. Menurutnya, keragaman bahasa isyarat juga mesti dianalisis secara lebih dekat dengan berbagai metode, baik kuantitatif maupun kualitatif, agar menghasilkan penggolongan ragam bahasa yang lebih mendekati kenyataan.[9] Tata bahasaPenjelasan dalam bagian ini didasarkan pada ragam bahasa isyarat Indonesia yang digunakan di Solo dan Makassar. Aspek kompletifTerdapat empat variasi untuk menandakan aspek kompletif ('sudah') dalam bahasa isyarat Indonesia di Solo dan Makassar:[10]
Partikel kompletif dapat diberikan setelah maupun sebelum verba:[11][a] Partikel kompletif juga dapat berdiri sendiri sebagai klausa dengan satu isyarat,[11] ataupun sebagai enklitika yang terikat dengan isyarat lain.[12] Terkadang, partikel kompletif juga dapat diulang, seperti dalam contoh berikut:[11] Pengisyaratan partikel kompletif biasanya disertai dengan mouthing atau aktivitas menirukan gerakan mulut untuk kata-kata dalam bahasa lisan seperti "sudah" dan "habis" dari bahasa Indonesia.[b] Mouthing untuk kata wis 'sudah' dari bahasa Jawa ragam ngoko juga digunakan pada ragam bahasa isyarat di Solo. Akan tetapi, penutur bahasa isyarat Indonesia di Makassar tidak meminjam mouthing untuk klitika perfektif =mo PFV dari bahasa Makassar, kemungkinan karena sifat klitika ini yang bentuknya dipengaruhi oleh klitika pronomina sehingga menyebabkan penutur ragam bahasa isyarat di Makassar tidak dapat mengidentifikasinya sebagai unsur kompletif.[13] Aspek kompletif dapat diindikasikan hanya dengan mouthing, seperti dalam contoh-contoh berikut:[13]
Walaupun pengindikasian aspek kompletif dengan isyarat mulut (mouth gesture, bukan mouthing) dapat ditemukan dalam bahasa isyarat Turki serta Kata Kolok, ragam bahasa isyarat Indonesia yang dituturkan di Solo dan Makassar termasuk unik di antara bahasa-bahasa isyarat dunia karena dapat mengindikasikan aspek kompletif melalui mouthing semata.[14] NegasiNegasi dalam ragam bahasa isyarat Solo dan Makassar dapat diindikasikan melalui isyarat TIDAK, yang diartikulasikan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan dan dengan gerakan melambai berulang ke samping.[15] Walaupun bahasa Melayu/Indonesia membedakan antara negasi non-nominal "tidak" dan negasi nominal "bukan", bahasa isyarat Indonesia ragam Solo dan Makassar menggunakan isyarat tangan yang sama untuk keduanya. Terkadang, beberapa penutur membedakan kedua jenis negasi ini dengan mouthing tidak dan bukan, walaupun ini mungkin tergantung pada kelancaran berbahasa Indonesia dan gaya isyarat masing-masing penutur. Palfreyman menemukan bahwa mouthing tidak juga digunakan dalam konteks yang biasanya diisi oleh "bukan" dalam bahasa Indonesia.[16] Fungsi utama negasi TIDAK adalah untuk menyangkal makna isyarat yang dimodifikasinya, seperti dalam contoh berikut:[17][c]
Negasi ganda juga dapat menunjukkan penyangkalan:[17]
Kombinasi antara isyarat TIDAK dan unsur seperti mouthing dan isyarat non-tangan lainnya dapat menghasilkan beragam fungsi, seperti negasi imperatif ('jangan!', lihat contoh 8), negasi eksistensial ('tidak ada', 9), dan negasi kompletif ('belum', 10).[18][d]
Kalimat tanya dalam bahasa isyarat Indonesia ragam Solo dan Makassar sering kali disampaikan dengan negasi, seperti dalam contoh berikut:[19]
Lihat pula
Keterangan
Referensi
Daftar pustaka
Bacaan lanjutan
|