Ayam kedu
Ayam kedu, ayam selasih, atau ayam cemani adalah ras ayam lokal yang telah dikembangkan di di Pulau Jawa sejak abad ke-12. Ayam cemani memiliki gen dominan yang menyebabkan hiperpigmentasi (fibromelanosis), yang membuat ayam-ayam ini kebanyakan berwarna hitam, termasuk bulu, paruh, dan organ dalam. Ayam kedu pada awalnya berfungsi sebagai hewan ritual dan tidak dimuliakan sebagai pedaging atau petelur.[1] Jenis-jenis ayam keduSaat ini dikenal empat macam tipe ayam kedu:[2]
MorfologiBerikut ini adalah beberapa ciri-ciri penampilannya. Belum ada bakuan resmi mengenai ukuran ini. Dari sisi fisik, ayam cemani dewasa jantan memiliki berat antara 2,5 sampai 3,5 kilogram. Sementara untuk betina dewasa umumnya berbobot lebih ringan, yakni antara 2 sampai 2,5 kilogram. Ayam cemani bisa hidup cukup lama, yakni mencapai 8 tahun. Bahkan, beberapa di antaranya bisa hidup hingga 10 tahun. Sementara produksi telurnya sama dengan ayam kampung pada umumnya, yakni berkisar 150 butir per ekor per tahun. Selain itu ciri lainnya berbulu keras; tubuh ukuran sedang; bulu ekor naik; jengger ukuran besar, untuk subtipe cemani berwarna sangat hitam; warna mata coklat gelap; tabiat suka berkelana, betinanya sangat melindungi anaknya; warna cangkang telur putih; produksi telur 160 butir per tahun; mulai bertelur pada umur enam bulan. Menurut catatan, ras lokal ini mulai ditangkarmurnikan oleh Tjokromihardjo pada tahun 1924, lalu dilanjutkan oleh dua anaknya. Khusus ayam cemani, yang paling bernilai sebagai bagian ritual atau pengobatan, terkait dengan legenda Ki Ageng Makukuhan.[3] FisiologiSecara genetik, ayam kedu seperti halnya ayam peliharaan di Nusantara dan Oceania diduga memiliki keturunan ayam bekisar.[4] Referensi
|