Arnold Achmad Baramuli
Arnold Achmad Baramuli (20 Juli 1930 – 11 Oktober 2006) adalah seorang pengusaha, politikus, mantan Gubernur Sulawesi Utara, dan jaksa Indonesia. Berasal dari Partai Golkar, ia adalah pendiri Grup Poleko yang pernah berusaha dalam industri kimia. Riwayat HidupBaramuli memulai karier di jalur birokrasi. Ia pernah menjadi jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta (1954–1956) dan Jaksa Tinggi dan Jaksa Tinggi Tentara untuk Indonesia Timur (1956–1960). Baramuli lalu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara dari tanggal 23 Maret 1960 hingga 15 Juli 1962. Pada saat ia menjabat, wilayah Sulawesi Utara masih mencakup pula wilayah Sulawesi Tengah.[1] Ia menjabat pada usia 29 tahun. Setelah itu, Baramuli menjabat sebagai Penasihat Menteri Dalam Negeri (1963-1965), Kepala Tim Ekonomi dan Keuangan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) (1970-1973). Awal KarirBaramuli memulai karirnya sebagai jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta pada tahun 1954 dan menetap di sana selama dua tahun. Ia menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Makassar di Sulawesi Selatan pada tahun 1956. Selanjutnya, ia mendapat kenaikan jabatan menjadi Letnan Kolonel dan diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas Kejaksaan Tinggi Sulawesi. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Oditur Tinggi Militer Indonesia Timur. Baramuli menyelidiki klaim penyelundupan di Makassar oleh oknum pemilik bisnis yang berasal dari kalangan orang asing yang menyimpan uang mereka di luar negeri seperti di Singapura dan Hong Kong. Baharuddin Lopa, yang kemudian menjadi jaksa agung, adalah bagian dari tim investigasi Baramuli.[2] Karier LegislatifBaramuli mulai menjadi anggota DPR-RI pada tahun 1971 mewakili Golkar.[butuh rujukan] Pada tahun 1973–1974 ia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Depdagri, kemudian sebagai Wakil Ketua Komite Indonesia-Jepang (1974), Anggota Dewan Penyantun atau Dewan Kurator Universitas Hasanuddin (1975–1977) dan anggota DPR F-KP (1978–1997). Dari tahun 1993 hingga 1998 ia menjadi anggota Komnas HAM. Setelah itu ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1998–1999). Pada tahun 1997–2004 Baramuli adalah anggota MPR utusan daerah Sulawesi Selatan (Oktober 1997–2004). Jabatan terakhir yang diembannya adalah pegawai utama madya Departemen Dalam Negeri. Berdedikasi di wilayah Sulawesi membuatnya sempat menjadi gubernur termuda ketika diangkat menjadi gubernur provinsi Sulawesi Utara-Tengah tanggal 23 Maret 1960, pada usia 29 tahun.[3] Provinsi ini akhirnya dibagi menjadi dua provinsi yang berbeda. Mengemban amanat sebagai gubernur memberikan Baramuli banyak peluang kekuasaan, tetapi ia menyatakan bahwa amanatnya memberikan tuntutan harus mengembangkan provinsi baru dengan sedikit bantuan anggaran dari pemerintah pusat. Pada saat itu Baramuli merasa kesulitan untuk memberikan gaji bulanan bagi pegawai negeri sipil di Sulawesi Utara. Di sisi lain karena kondisi negara belum lama merdeka, Baramuli juga harus menghadapi pemberontakan Permesta yang dipimpin oleh Ventje Sumual. Pencapaiannya di Manado, Baramuli berhasil memelopori penyediaan perumahan di Bumi Beringin untuk para pegawai kantor gubernur. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinan Presiden Sukarno, Baramuli menjabat sebagai penasihat menteri dalam negeri dari tahun 1963 hingga 1965.[4] Masih pada tahun 1965, ketika Jenderal Sumarno menjadi menteri dalam negeri, Baramuli diangkat menjadi kepala Badan Pengawas Perusahaan Daerah (Bappeda). Badan ini dibentuk pada tahun 1958 untuk mengambil alih kendali atas banyak perusahaan Belanda yang berbasis di daerah, yang telah dinasionalisasi. Perusahaan-perusahaan Bappeda dioperasikan oleh para gubernur provinsi, yang biasanya adalah perwira militer. Penunjukan Baramuli sebagai pimpinan Bappeda membuatnya dipandang sebagai "jenderal keuangan" di lembaga tersebut. Setelah Amirmachmud menjadi Menteri Dalam Negeri pada tahun 1969, Baramuli melanjutkan dedikasinya di Jakarta sebagai staf ahli yang bertanggung jawab atas aset-aset negara di daerah. Pada tahun-tahun awal masa kepemimpinan Presiden Suharto, Baramuli menjabat sebagai kepala tim ekonomi dan keuangan Kementerian Dalam Negeri dari tahun 1970 hingga 1973. Dia kemudian menjadi wakil ketua Dewan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan kementerian tersebut dari tahun 1973 hingga 1974. Prestasinya membuat Baramuli kemudian ditunjuk sebagai wakil ketua Komite Indonesia-Jepang pada tahun 1974. Baramuli pernah aktif di Kadin dan juga merupakan anggota Dewan Kehormatan Golkar. Dari pernikahannya dengan Albertina Kaunang, Baramuli mendapatkan lima orang anak dan seorang di antaranya telah meninggal. Ia mempunyai 10 orang cucu dan seorang cicit.[5] Keberhasilan membongkar kasus Eddy TansilPada bulan Februari 1994, sebagai anggota Komisi VII DPR RI, Baramuli membongkar skandal penipuan perbankan yang melibatkan Eddy Tansil. Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VII dan Gubernur Bank Indonesia Sudrajad Djiwandono, Baramuli mengajukan pertanyaan mengenai kredit macet Tansil di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Ia mengatakan bahwa prosedur pinjaman tersebut cacat atau tidak memenuhi prosedur karena Tansil tidak memberikan agunan. Tansil, dibantu oleh rekan bisnisnya Tommy Suharto, telah memperoleh pinjaman sebesar $430 juta dari Bapindo untuk perusahaan Golden Key untuk membangun pabrik petrokimia, namun pabrik tersebut tidak pernah dibangun dan pinjaman tersebut tidak dilunasi. Tansil pada bulan Agustus 1994 dijatuhi hukuman 17 tahun penjara, namun pada tahun 1996 Tansil berhasil keluar dari penjara dan meninggalkan Indonesia.[6] Awal karir di Dewan Pertimbangan AgungKepala DPA dan kepala staf Habibie Baramuli dekat dengan B.J. Habibie karena mereka memiliki kesamaan etnis dan politik. Ketika Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Habibie menjadi presiden dan Baramuli diangkat menjadi kepala Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam posisi ini, ia dianggap juga sebagai kepala staf de facto Habibie.14 Ia dituduh menggunakan politik uang untuk mendukung kampanye pemilihan kembali Golkar dan Habibie. Ia memimpin DPA hingga 20 Oktober 1999, ketika Habibie kalah dalam pemilihan presiden. Sebagai ketua DPA, Baramuli dilaporkan menolak gaji dan fasilitas negara, seperti mobil dan rumah. Ketika ia melakukan perjalanan ke Singapura untuk berobat, ia menolak tawaran fasilitas negara, dengan alasan tidak ingin membebani negara. Kedekatan Baramuli dengan mantan presiden BJ Habibie selain membuatnya pernah menjabat Ketua DPA semasa pemerintahan B.J. Habibie tetapi juga pernah menjadi anggota DPR FKP (1978-1997), anggota Komnas HAM (1993-1998), kemudian anggota MPR utusan daerah Sulawesi Selatan (Oktober 1997-2004). Baramuli, yang banyak berpengalaman di bidang politik maupun birokrasi, semasa menjabat anggota DPR, pernah mengungkap kasus korupsi di PT Golden Key senilai Rp 1,3 triliun. Pada Pemilu 2004, Baramuli berupaya mencalonkan diri untuk menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Sulawesi Selatan, namun KPU Sulawesi Selatan memberi catatan sehingga KPU mencoret namanya dari daftar calon karena faktor domisili.[7] Kasus kredit macet Indover BankPada awal tahun 2000, auditor Indonesia menemukan bahwa dari tahun 1993 hingga 1998, sekitar $1 miliar dana dari Bank Indonesia, bank sentral, telah dialirkan ke sebuah afiliasi di Belanda, yaitu Indover Bank di Amsterdam. Kejaksaan Agung menduga bahwa dana tersebut telah disalurkan melalui Indover Bank kepada kerabat dan kroni Suharto. Salah satu penerima diidentifikasi sebagai perusahaan Baramuli, PT United Coconut Indonesia (Unicotin), yang gagal membayar pinjaman sebesar $ 1,5 juta.[8] Pada bulan Januari 2001, Kejaksaan Agung menanyakan kepada Baramuli mengenai kredit macet tersebut. Baramuli, yang memiliki sekitar 70% saham Unicotin, mengatakan bahwa ia secara pribadi menjamin pinjaman tersebut. Ia mengatakan bahwa pinjaman yang diberikan pada tahun 1995 itu dimaksudkan untuk ekspansi Unicotin di industri agro-bisnis, namun perusahaan tersebut bangkrut karena krisis keuangan Asia tahun 1997. Baramuli mengatakan kepada para wartawan bahwa ia siap bertanggung jawab secara pribadi jika perusahaannya tidak mampu membayar kembali utang tersebut. Ia membantah bahwa pinjaman ini diberikan karena kedekatannya dengan Soedrajad Djiwandono, gubernur Bank Indonesia pada saat itu.[9] Kiprah di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)Melanjutkan kiprahnya, sejak tahun 1993 hingga 1998, Baramuli merupakan anggota perdana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Baramuli memimpin delegasi Komnas HAM yang pada bulan Januari 1994 menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dalam protes terhadap pembangunan Nirwana Resort di Tanah Lot, Kabupaten Tabanan, Bali. Proyek di atas tanah seluas 121 hektar ini merupakan usaha patungan antara Bakrie Group milik Aburizal Bakrie, konglomerat pribumi terbesar di Indonesia, dan Timeswitch Investments Ltd. yang berbasis di Inggris.[10] Seperti Baramuli, Bakrie adalah anggota Golkar dan Kadin. Para petani di wilayah proyek diminta untuk menjual tanah mereka untuk kepentingan nasional serta diatasnamakan sebagai proyek pemerintah. Kemudian, kepemilikan sebenarnya dari pembangunan tersebut terungkap, penduduk lokal Bali melakukan protes, mengatakan bahwa mereka tidak ingin pembangunan komersial di dekat situs-situs pura Hindu yang penting. Pemerintah setempat menanggapi dengan mengancam akan memutus air irigasi untuk mengurangi nilai tanah tersebut. Proyek ini kemudian terhenti selama delapan bulan hingga militer turun tangan dan para pengunjuk rasa terluka saat polisi menggunakan kekerasan untuk membubarkan unjuk rasa. Militer mengklaim bahwa para pengunjuk rasa terinspirasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah lama dilarang. Dengan Baramuli sebagai ketua tim investigasi, Komnas HAM menyimpulkan bahwa satu-satunya pelanggaran hak yang terjadi adalah hilangnya pekerjaan para buruh akibat penundaan proyek. Komnas HAM juga mendesak komisi analisis yang menangani dampak lingkungan daerah Bali untuk segera menyelesaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya ditolak oleh masyarakat.[11] WafatBaramuli meninggal pada tanggal 11 Oktober 2006 pukul 21.31 di Jakarta. Jenazah diberangkatkan pada pukul 10.00 untuk kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama. Kepergian Baramuli diiringi oleh kerabat yang datang melayat seperti BJ Habibie, dan mantan Ketua DPR/MPR Harmoko.[12] Pada bulan Januari 2006, Baramuli dirawat di rumah sakit di Singapura selama tiga hari. Setelah itu, ia secara rutin mengunjungi Singapura untuk berobat. Pada tanggal 11 Oktober 2006 pukul 21.31 di Jakarta, ia meninggal dunia pada usia 76 tahun di kediamannya di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Adiknya Baramuli, Eddy, mengatakan bahwa ia meninggal karena penyakit hati setelah menderita hepatitis. Di antara tokoh-tokoh terkemuka yang mengunjungi rumahnya untuk melayat adalah Habibie, Harmoko, Jusuf Kalla, Ryaas Rasyid, dan Pangkostrad Suzetta. Tokoh-tokoh yang hadir dalam pemakamannya antara lain Ketua MPR Ginandjar Kartasasmita dan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[12] Referensi
Pranala luar
|