Arif Bagus Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo (lahir 30 September 1971) adalah budayawan Indonesia yang dikenal luas sebagai pemikir dan pekerja kebudayaan yang kini menetap di Bali. Ia adalah kritikus sastra dan seni rupa, penyair angkatan 2000-an, kurator lukisan, dan ahli penerjemahan yang meraih berbagai penghargaan, antara lain: Pemenang II Kritik Seni Rupa 2005, Dewan Kesenian Jakarta, Pemenang I Kritik Sastra 2007, Dewan Kesenian Jakarta, Anugerah “Widya Pataka“ 2009 Pemerintah Provinsi Bali, serta Anugerah Puisi CSH 2009. Sebagai penerjemah, ia telah menerjemahkan lebih dari 20 buku asing ke dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh berbagai penerbit besar. Tahun 2011, melalui koran Kompas, Prasetyo menulis esai yang menegaskan pemikirannya mengenai bentuk baru kritik sastra dan menimbulkan polemik. Polemikus di koran Kompas menggugat Prasetyo yang melontarkan gagasan bahwa era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) untuk dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Prasetyo kukuh menilai bahwa kritik sastra lama bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna. Sebagai alternatif terhadap kritik sastra usang, Prasetyo menawarkan suatu bentuk kritik sastra baru yang dapat menempati wilayah paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kehidupan PribadiArif Bagus Prasetyo dilahirkan di Madiun, 30 September 1971, tumbuh di Surabaya, dan tinggal di Denpasar, Bali. Saat masih menjadi mahasiswa Teknik Elektro di Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya, Prasetyo muda bergabung dengan komunitas seni budaya Bengkel Muda Surabaya pada awal 1990-an di masa Orde Baru. Di Surabaya, Prasetyo muda dikenal sebagai salah satu pendiri Kelompok Seni Rupa Bermain pada 1994 yang giat melemparkan kritik sosial terhadap kondisi sosial-politik yang totalitarian pada periode akhir pemerintahan diktator Jenderal Soeharto. Sejak masa Reformasi tahun 2000-an, Ia mulai menerjemahkan karya-karya sastrawan dan akademisi dunia ke dalam Bahasa Indonesia. Kini ia menetap di Bali bersama istrinya, Oka Rusmini, seorang penyair dan novelis. PendidikanPrasetyo adalah alumni Program Studi Sastra Inggris dengan bidang minat penerjemahan di Universitas Terbuka dan International Writing Program (2002) di University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat, serta Magister Ilmu Linguistik dengan konsentrasi penerjemahan di Universitas Udayana, Denpasar. Sebagai penerjemah, ia telah menerjemahkan lebih dari 20 buku asing ke dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh berbagai penerbit besar. Aktivitas KebudayaanKarya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi puisi. Tahun 2018, Arif Bagus Prasetyo ditunjuk menjadi salah satu anggota dewan juri Kusala Sastra Khatulistiwa.[1] Sebagai penulis, karyanya banyak disiarkan di berbagai media di dalam dan luar negeri, seperti Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Kompas, Majalah Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Visual Arts, Sarasvati, Asian Art News (Hong Kong), Perisa (Malaysia), Bahana (Brunei), Iowa Review (Amerika Serikat) dan Inside Indonesia (Australia). Sebagai pemikir seni budaya, Prasetyo juga rutin diundang sebagai narasumber dalam forum seni-budaya tingkat internasional, antara lain, Seminar Low Stream Echoes di Jeju Museum of Contemporary Art, Jeju, Korea Selatan (2014), Democratic Human Rights and Peace Exhibition Workshop di Gwangju Museum of Art, Gwangju, Korea Selatan (2015) dan International Symposium Asian Art and Network di Jeju Museum of Art, Jeju, Korea Selatan (2016). Polemik Kritik Sastra BaruTahun 2010, melalui forum Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang, Prasetyo menawarkan suatu bentuk kritik sastra baru yang memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif untuk mengatasi periode kematian kritik seni di Indonesia. Ia menilai bahwa karya sastra di Indonesia sudah berada di posisi yang tidak membutuhkan kritikus untuk berbicara kepada pembaca. Karya sastra tidak membutuhkan jembatan penyambung lidah. Prasetyo memandang perlunya pembaharuan kritik sastra kontemporer yang berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya makna karya sastra. Menurut pendapat Prasetyo, kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Ia memandang bahwa kritikus tidak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya. Dalam esainya, ia melemparkan argumen bahwa kritikus dapat memperlakukan karya sastra sebagai bahan mentah untuk menyusun narasi baru, menciptakan karya baru yang berasal dari, tapi berdiri sejajar dengan, karya yang ditelaah. Tahun 2011, melalui koran Kompas, Prasetyo menulis esai yang menegaskan pemikirannya mengenai bentuk baru kritik sastra dan menimbulkan polemik. Bibliografi
Terjemahan
Lihat pulaReferensi
|