Ammu Pe
Ammu Pe merupakan salah satu jenis bangunan tradisional berupa rumah tempat tinggal suku Sabu yang tersebar di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Rumah tersebut merupakan bagian dari kekayaan arsitektur yang dimiliki oleh suku Sabu. Istilah Ammu Pe sendiri terdiri atas dua kata yakni "ammu" yang berarti rumah dan "pe" yang memiliki arti tinggal.[1] Sejak tahun 2010, Ammu Pe yang menjadi bagian dari arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur dimasukkan ke dalam pencatatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan nomor registrasi 2010000034 .[2] Pembagian Jenis BangunanJenis rumah tempat tinggal (Ammu Pe) suku Sabu dapat dibagi berdasarkan sejumlah hal yaitu berdasarkan status sosial yang melekat pada pemilik rumah dan bentuk struktur bangunan. Pun dalam dua bagian tersebut, Ammu Pe masih dibagi kembali ke dalam sejumlah pembagian. Berdasarkan status sosialRumah tempat tinggal suku Sabu dapat dibagi menjadi dua secara status sosial yang melekat dalam diri penduduknya. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
Selain berdasarkan hierarki kependudukan, Ammu Pe juga dapat dibagi berdasarkan status sosial lain berupa tingkat kekayaan. Pembagian berdasarkan tingkat kekayaan ini juga dibagi menjadi dua yaitu:
Perbedaan rumah tinggal (Ammu Pe) suku Sabu dapat dilihat dari besaran biaya, material yang digunakan, dan besar bangunan. Rumah tempat tinggal bagi penduduk yang berstatus raja atau bangsawan dan penduduk kaya biasanya dibangun berbentuk besar, anggun, berbiaya besar karena menggunakan bahan-bahan material terpilih, dan memilki struktur yang kuat. Sebaliknya, rumah tempat tinggal penduduk biasa dan miskin umumnya berbentuk sederhana, kecil, dan dengan konstruksi yang sederhana pula.[4] Berdasarkan bentuk struktur bangunanPembagian berdasarkan status sosial di atas, pada dasarnya merupakan hal yang tidak terlalu lazim digunakan. Pembagian jenis rumah tempat tinggal umumnya didasarkan pada bentuk bangunan seperti bentuk atap atau balok-balok yang menyusunnya, bentuk konstruksi tiang dan keasliannya. Berdasarkan bentuk atap, Ammu Pe dibagi menjadi:
Berdasarkan bentuk kibie (balok penendes), Ammu Pe dapat dibagi menjadi:
Berdasarkan konstruksi tiang, rumah tinggal suku Sabu dibagi menjadi
Rumah tinggal suku Sabu juga memiliki dua nama lain, yakni:
Secara umum, bentuk bangunan rumah tinggal suku Sabu memiliki kaitan erat dengan pandangan hidup dan asal-usul mereka. Struktur BangunanLokasi dan Arah Mata Angin Rumah tinggal suku Sabu biasanya dibangun di lokasi tertentu. Umunya dibangun didaerah yang tinggi dengan kontur tanah yang tidak rata seperti bukit atau lereng. Dalam membangun, suku Sabu sangat memperhatikan arah mata angin. Rumah tempat tinggal suku Sabu selalu menghadap ke arah Utara atau ke Selatan. Sedangkan haluan rumah selalu menghadap arah barat atau timur.[5] Dalam bahasa Sabu, istilah tersebut dikenal dengan duru wa dan duru dimu. Atap rumah suku Sabu memiliki ciri khas seperti perahu terbalik. Hal tersebut berkaitan erat dengan kehidupan suku Sabu yang menganggap perahu dan laut sebagai bagian yang penting. Rumah-rumah suku Sabu yang berkempul membentuk kampung disebut sebagai Rae Kowa yang berarti kampung perahu. Begitu pula bagian dalam rumah tinggal suku Sabu yang menggunakan istilah dari bagian yang ada di perahu. Tiang penopang balok bubungan (bangngu) yang berjumlah dua buah disebut Gela. Ruangan terbuka yang ada dalam rongga atap disebut Roa Ammu. Setiap rumah memiliki anjungan/haluan dan buritan yang disebut duru dan wui.[4] Atap rumah tinggal suku Sabu terutama Ammu Hawu menggunakan bahan yang berasal dari daun lontar. Hal membuat sirkulasi panas di dalam rumah menjadi lancar. Daun lontar tersebut mampu menyerap dan melepaskan panas dari luar rumah ke dalam rumah jauh lebih sedikit. Penggunaan atap lontar yang dapat mengatur sirkulasi panas dalam rumah tinggal suku Sabu dianggap sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi iklim di Pulau Sabu. Selain penggunaan lontar, bagian terbuka dari atap rumah tinggal suku Sabu yang mencapai 10-30% dari luasan atap dianggap sebagai adaptasi terhadap angin kencang yang sering terjadi di wilayah tersebut.[6] Proses PembangunanPada saat bagian rumah ada yang rusak seperti atap bocor atau jatuh, suku Sabu tidak melakukan renovasi terhadap kerusakan tersebut. Mereka akan membongkar rumahnya dan membangun ulang bangunan tersebut.[7] Tambahan[8][9] MaknaPenggunaan sejumlah istilah untuk menamai bangunan atau bagian dalam bangunan bagi suku Sabu memiliki makna tersendiri. Penggunan kata Jawa yang memiliki arti asing dalam Ammu Jawa misalnya menandakan suku Sabu sudah melakukan kontak dengan orang non-Sabu dan kemudian diadopsi oleh Suku Sabu. Begitu juga penggunaan kata kebie yang digunakan untuk menamai balok kayu dianggap sebagai simbol peyambung generasi. Dengan demikian membangun rumah, memiliki makna menyambung generasi.[10] Bagi orang Sabu, rumah tidak hanya berfungsi sebagai bangunan fisik. Rumah memilki makna rohaniah bagi mereka. Rumah dianggap memilki nyawa yang setara dengan makhluk hidup.[3] Referensi
|