Al-WakwakAl-Wakwak (bahasa Arab: ٱلْوَاق وَاق al-Wāq Wāq), juga kerap ditulis al-Waq Waq, Wak al-Wak, Waqwaq, atau Wak Wak, adalah nama sebuah pulau atau kepulauan dalam kisah legenda Abad Pertengahan dari Timur Tengah, yaitu kisah Seribu Satu Malam. Waqwaq disebutkan dalam catatan para musafir dan geografer Islam, seperti Buzurg (953), Al-Idrisi (1165), Ibnul Wardi (1348), dan Al-Himyari (1495); hingga kemudian muncul pada teks dan peta terbitan Iberia dan Mediterania. Para musafir tersebut berbeda-beda pendapat dalam menentukan lokasi Waqwaq, antara lain diduga kuat berada di Kepulauan Zabag atau Nusantara (Jawa dan Sumatera), pantai Afrika, kepulauan Seychelles, kepulauan Asia Tenggara, kepulauan Jepang, dll.[1] Catatan Arab abad ke-10 berjudul Ajayeb al-Hind (Keajaiban India), memberi laporan Bangsa Wakwak yag dimaksud dimungkinkan adalah orang-orang Jawa (Kerajaan Medang Kuno) Identifikasi dengan peradabanCatatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberi laporan terkait invasi bangsa Wakwak ke Afrika. Bangsa Wakwak yag dimaksud, dimungkinkan adalah orang-orang Jawa (Kerajaan Medang) atau orang-orang Sumatra (Kerajaan Sriwijaya) pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh. Wakwak disebutkan dalam sejumlah sumber; itu umumnya sebuah pulau yang jauh. Kisah yang menyerupai legenda Waqwaq saat ini masih terdapat dalam kisah mitologi dan kesenian tradisional, baik di Eropa maupun Asia. Dalam versi Arab, pulau Waq-Waq yang terkenal terletak di laut Cina. Pulau ini diperintah oleh seorang ratu dan populasinya hanya perempuan: biasanya diilustrasikan dalam manuskrip Al-Qazwini tentang Keajaiban Penciptaan yang menunjukkan ratu dikelilingi oleh pelayan perempuannya.[2] Al-Idrisi, yang membuatkan peta untuk Raja Roger II dari Sisilia, menempatkan koordinat Waqwaq pada lokasi yang bertepatan dengan pulau Sumatra pada peta modern. Saat itu, kepulauan Asia Tenggara merupakan persimpangan jalur pelayaran dunia antara Barat dan Timur, di mana banyak pedagang dan musafir dari berbagai negara singgah untuk mengisi perbekalan dan bertukar cerita mengenai petualangan mereka. Legenda Waqwaq dan penghuninya yang ajaib akhirnya berakhir setelah frekuensi pelayaran ke daerah tersebut semakin meningkat, sehingga peta akurat mengenai Sumatra dan pelabuhan-pelabuhannya dapat dibuat. Ibn Khordadbeh menyebutkan Waqwaq dua kali: "Di Timur Cina adalah tanah Waqwaq, yang kaya akan emas sehingga penduduknya membuat rantai untuk anjing mereka dan kalung untuk monyet mereka dari logam ini. Mereka memproduksi tunik yang ditenun dengan emas. Kayu eboni yang sangat bagus kayu ditemukan di sana. Dan lagi: Emas dan kayu hitam diekspor dari Waqwaq".[3] Suma Oriental dari Tome Pires menyebutkan bahwa orang Jawa memiliki "banyak anjing bagus berkalung dan cincin dari emas dan perak", sesuai dengan gambaran Ibn Khordadbeh tentang Waqwaq.[4] Michael Jan de Goeje menawarkan etimologi yang menafsirkannya sebagai terjemahan kata bahasa Kanton untuk Jepang. Gabriel Ferrand mengidentifikasinya dengan Madagaskar, Sumatra atau Indonesia.[3] Tom Hoogervorst berpendapat bahwa kata Malagasi vahoak, yang berarti "orang, klan, suku", berasal dari kata Melayu awak-awak, berarti "orang, kru". Ann Kumar setuju dengan Tom, dan mengidentifikasi wakwak sebagai Indonesia, dan menyelidiki kemungkinan serangan bangsa Indonesia kuno di pantai timur Afrika.[5] Catatan Arab abad ke-10 "Ājā"ib al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[5] mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang,[6] pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.[5] Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke-15 pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno[7][8] dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming.[9] Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M),[10][11] Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan Bondan (Papua).[6] Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.[12] Terjemahan lengkap cerita Wakwak di "Ājā"ib al-Hind adalah sebagai berikut:
Penulis kitab itu mengatakan bahwa penduduk Waqwaq sangat banyak, beberapa di antaranya mirip dengan orang Turki. Mereka adalah yang paling rajin dari semua makhluk Allah tetapi dikatakan pengkhianat, licik dan suka berbohong.[5] Pohon waqwaqTongdian oleh Du Huan menyebutkan laporan Arab tentang pohon yang menumbuhkan anak kecil. Dalam Kitab al-Bulhan, lukisan berjudul 'Pohon Waq Waq' agak luar biasa karena menggambarkan cara penduduk berpopulasi semua perempuan berkembang biak dan melanggengkan diri. Sosok wanita tumbuh dari pohon seolah-olah mereka matang seperti buah sampai mereka matang dan mereka jatuh ke tanah mengeluarkan suara yang terdengar seperti 'Waq Waq!'[2] Versi Andalusia menyebutkan wanita cantik sebagai buah dari pohon itu.[3] Mauny berpikir ia mungkin pohon pandan, yang disebut Bakkuwan oleh orang Batak di Indonesia dan tumbuh di Madagaskar di mana ia disebut Vakwa.[5] Dan Bangsa Jawa (Medang), pernah menginvasi Madagaskar pada abad 10. Sebuah kemungkinan besar Waqwaq orang Jawa. Lihat juga
Referensi
Pranala luar
|