Al-Muthi'
Abū ʾl-Qāsim al-Faḍl bin al-Muqtadir (bahasa Arab: أبو القاسم الفضل بن المقتدر; 913/14 – September/Oktober 974), yang lebih dikenal dengan nama regnal-nya al-Muthīʿ li-ʾllāh (bahasa Arab: المطيع لله, har. 'Taat pada Allah'[1]), adalah khalifah Abbasiyah di Baghdad dari 946 sampai 974, yang berkuasa di bawah bimbingan para amir Buwaihi. Masa kekuasaan Al-Muthi' mewakili nadir kekuasaan dan otoritas kekhalifahan Abbasiyah. Pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, otoritas sekuler para khalifah telah jatuh pada Irak, dan bagkan ada yang bergantung pada para panglima perang berkuasa; dengan penaklukan Baghdad oleh Buwaihi, wilayah tersebut kini ditinggalkan sepenuhnya. Al-Muthi' dinaikkan ke takhta oleh Buwaihi dan secara efektif menurun menjadi kepala stempel karet, dengan beberapa hak otoritas atas urusan yudisial dan keagamaan di Irak. Fakta penekanan dan kurang berkuasanya membantu memulihkan beberapa stabilitas pada lembaga khalifah: dalam hal ini berseberangan dengan para pendahulunya yang telah digulingkan dan berusia pendek, al-Muthi' menikmati masa kekuasaan yang panjang dan relatif tak tertandingi, dan dapat menyerahkan takhta tersebut kepada putranya al-Ta'i'. Pengabdian Al-Muthi' sebagai penguasa nominal dunia Muslim yang secara tajam menurun pada masa kekuasaannya. Para pesaing regional dari Buwaihi menunda pengakuan mereka terhadap kekhalifahan al-Muthi, hanya memandangnya selaku boneka Buwaihi, dan ketidakmampuannya untuk menanggapi secara efektif terhadap laju Bizantium mencoreng reputasinya. Secara lebih menonjol, kebangkitan rezim-rezim Syi'ah di sepanjang Timur Tengah secara langsung menantang kekuasaan Sunni dan Abbasiyah. Buwaihi sendiri adalah Syi'ah, namun mereka mempertahankan kekhalifahan Abbasiyah dari penggoyahan. Lebih jauh ke barat, perluasan Kekhalifahan Fatimiyah menghimpun tantangan ideologi dan politik terhadap Abbasiyah. Pada masa kekuasaan al-Muthi, Fatimiyah menaklukan Mesir dan mulai meluas hingga Syam, yang mengancam Baghdad itu sendiri. BiografiKehidupan awalAl-Muthi' lahir di Baghdad pada 913/14 dengan nama al-Fadl, sebagai putra dari pasangan khalifah Abbasiyah, al-Muqtadir (m. 908–932), dan gundik Slavik, Mash'ala.[2][3] Ia merupakan saudara dari khalifah-khalifah al-Radi (m. 934–940) dan al-Muttaqi (m. 940–944).[2] Al-Muthi' dibesarkan pada masa krisis. Masa kekuasaan Al-Muqtadir ditandai oleh pergesekan faksional, serangan oleh Qarmatia, penurunan ekonomi dan penyusutan pendapatan yang berujung pada ketegangan militer, yang berpuncak dalam pembunuhan khalifah pada 932.[4] Pada masa kekuasaan berikutnya dari al-Radi dan al-Muttaqi, pemerintahan pusat Abbasiyah kehilangan kendali atas daerah-daerah dari penguasa militer regional. Bahkan di wilayah metropolitan Abbasiyah Irak, penguasa militer merebut otoritas sebenarnya dari para khalifah, dan membagi satu sama lain dengan gelar amir al-umara (kepala panglima, terj. har. 'kepala amir') dan kendali hadirin dari aparatus pemerintah Abbasiyah di Baghdad, yang akan memperkenankan mereka untuk membayar pasukan mereka.[5][6] Al-Muttaqi sendiri dinaikkan ke takhta oleh amir al-umara Bajkam, namun berniat untuk memainkan para panglima perang regional—terutama Hamdaniyah dari Mosul—untuk memulihkan kemerdekaan dan otoritas jabatannya. Upaya tersebut berakhir dengan kegagalan, dan mengakibatkan penggulingan dan pembutaannya oleh amir al-umara Tuzun pada September 944.[7][8] Selaku kepala para putra yang tersisa dari al-Muqtadir dan saudara dari dua khalifah sebelumnya, al-Fadl menjadi kandidat kuat untuk takhta tersebut.[9] Sebagai tanggapannya, Tuzun memilih al-Mustakfi (m. 944–946), seorang putra dari Khalifah al-Muktafi (m. 902–908).[10] Sumber-sumber abad pertengahan melaporkan bahwa al-Mustakfi dan al-Fadl saling membenci satu sama lain, dan bertikai pada persinggahan mereka di Istana Tahiriyah pada masa muda. Tak hanya mereka merupakan anggota garis suksesi pesaing, namun sifat mereka bertentangan secara diametrikal: walau al-Fadl, seperti ayahnya, dikenal karena kesalehannya, al-Mustakfi membeberkan wacana ketaatan lewat asosiasinya dengan militia ayyarun—tergambar dari golongan kelas rendah di perkotaan, mereka seringkali dijadikan pembuat ketegangan dan mendakwa asosiasi mereka dengan kelompok heterodoks dan sektarian seperti Sufi[11][12]—dan keikutsertaannya dalam permainan-permainan 'vulgar'.[9] Kala al-Mustakfi bertakhta, ia mengirim para agennya untuk merebut al-Muthi', namun al-Muthi' langsung dibawa ke persembunyian, dan khalifah tersebut memutuskan sendiri untuk merobohkan rumahnya.[1][9] Tindakan tersebut hanya ditujukan untuk menandai al-Fadl selaku pesaing berat; kala mendengarnya, wali raja veteran, Ali bin Isa, dikatakan berujar bahwa "Saat ini, ia [al-Fadl] telah diakui menjadi pewaris takhta."[1] KekhalifahanNaik takhtaPada Desember 945, pasukan Daylamiyah dari penguasa Buwaihi Mu'izz al-Dawla (m. 945–967) merebut Baghdad. Mu'izz al-Dawla menjadi 'pelindung' de facto khalifah Abbasiyah, walau gelar amir al-umara nampaknya diserahkan pada kakaknya, Imad al-Dawla, yang diangkat menjadi kepala amir Buwaihi.[13][a] Pada 29 Januari 946 (atau 9 Maret, menurut catatan lain), al-Mustakfi digulingkan,[2][15] dan pada hari yang sama, Mu'izz al-Dawla mengangkat al-Fadl pada kekhalifahan, dengan nama regnal al-Muti' li-'llah (terj. har. 'Taat pada Allah').[1][16] Kemunculan ulang mendadak al-Muthi', dan kenaikan takhtanya, nampaknya menjadi kejutan dari orang-oramng sezamannya, dan berujung pada kisah bahwa ia bersekongkol dengan Buwaihi sejak masa kenaikan takhta al-Muktafi.[17] Sumber-sumber abad pertengahan membenarkan perubahan tersebut atas dasar agama. Buwahihi dan para pengikut mereka adalah simpatisan Syi'ah, dan dua pembuat kronik pada masa berikutnya, Muhammad bin Abd al-Malik al-Hamadhani (w. 1127) dan Ibnu al-Athir (dw 1233), melaporkan bahwa Mu'izz al-Dawla memunculkan gagasan menggulingkan Abbasiyah dan mengangkat bani Ali pada takhta Baghdad, yang hanya dibocorkan oleh jurutulisnya, Abu Ja'far al-Saymari, yang menyatakan bahwa dalam pertikaian antara dirinya dan khalifah Syi'ah, golongan prajurit Daylamiyah nampaknya berpihak dengan khalifah Syi'ah.[1][18] Ini jelas-jelas kemudian menjadi interpolasi anakronistik,[b] dan sejarawan John Donohue tak mengklaim motivasi keagamaan apapun dalam penggulingan al-Mustakfi. Para pembuat kronik lainnya menyebut alasan berbeda, seperti intrik khalifah dengan Gamdaniyah, atau kemunculan al-Fadl dari persembinyian dan menyatakan penguasa Buwaihi melawan sepupunya, namun alasan utamanya nampaknya adalah bahwa Mu'izz al-Dawla berhendak untuk memiliki khalifah yang berada di bawah kendali penuhnya tanpa sumber dukungan luar.[19] al-Mustakfi digulingakan dan dibutahakan, nampaknya sebagai tindakan balas dendam yang dipicu oleh al-Muthi', dan menjalani sisa masa hidupnya sebagai tahanan di istana khalifah, tempat ia wafat pada September 949.[20] Peran dan hubungan dengan BuwaihiAl-Muthi' adalah sosok lemah, karena sepenuhnya ditujukan dan dirancang menjadi penguasa boneka penguasa Buwaihi dari Irak, mula-mula Mu'izz al-Dawla, dan kemudian putranya, Izz al-Dawla (m. 967–978). Sebagai akibat dari kurangnya kekuasaan sebenarnya, al-Muthi' sendiri hampir tak disinggung dalam kronik-kronik masa kekuasaannya, dan para sejarawan abad pertengaahn menganggap masa kekuasaannya sebagai titik terrendah kekhalifahan Abbasiyah,[2] sebuah wacana yang juga disepakati oleh para cendekiawan modern.[21]
Sejarawan Hugh Kennedy perihal pendirian Buwaihi dari kekhalifahan Abbasiyah[22] Dalam teori, Buwaihi dan seluruh pejabat mereka di Irak terus bertindak atas nama khalifah Abbasiyah, dan seluruh pelantikan dan tindak hukum terus dibuat atas namanya.[22][23] Pada prakteknya, al-Muti' menjauh dari otoritas penting manapun. Dalam pertukaran untuk memperkenankan kehidupan yang nyaman dan aman di istana-istana khalifah, ia menyediakan pengesahan untuk membangkitkan rezim Buwaihi di mata dunia Muslim.[2][24] Opsi-opsi peniadaan kekhalifahan atau mengangkat Alid menjadi khalifah sangatlah ditolak, jika mereka benar-benar terhibur: tindakan semacam itu akan menimbulkan perlawanan besar, kekhalifahan Sunni lain dapat dengan mudah timbul di tempat lain, namun khalifah di bawah kendali Buwaihi akan membantu menghimpun kesetiaan mayoritas Sunni pada rezim baru tersebut, serta menghimpun bobot simboliknya pada Buwaihi dalam hubungan mereka dengan para pangeran Muslim lainnya.[22][25] Selain itu, terdapat kekurangan dari kandidat Alid yang layak: imam terakhir Syi'ah Dua Belas Imam, yang mewakili pendirian utama pengikuit Syi'ah di wilayah kekuasaan Buwaihi, telah meninggalkan okultasi pada tujuh puluh tahun sebelumnya, dan doktrin Zaydi menganggap bahwa para imam telah merebut kekuasaan diri mereka sendiri jika mereka menjadi sah.[22][26] Buwaihi dengan cepat mengintegrasikan diri mereka sendiri ke sistem Abbasiyah tradisional dan sangat memperjuangkan pengesahan yang diberikan oleh khalifah, dalam bentuk gelar kehormatan dan diploma kegubernuran, atau pada tanda tangannya dalam risalah.[27] Pada saat yang sama, al-Muthi' secara efektif mengurangi jabatan negara bergaji, dan pertanggungjawabannya berhias pada sorotan atas yudisier, lembaga keagamaan, dan urusan para anggota klan Abbasiyah secara luas.[3] Kepala jurutulis khalifah tak lagi disebut 'waliraja' (wazir), namun 'jurutulis' (katib), dan perannya dibatasi pada kepengurusan diwan al-khilafa, sebuah departemen yang mengurusi harta benda khalifah, penyematan resmi dari gelar dan jabatan serta sertifikat atas nama khalifah, dan pelantikan hakim dan juri.[28] Pada kenyataannya, pelantikan yudisial juga berada di bawah naungan amir Buwaihi, namun setidaknya untuk para sosok yang lebih senior, seperti kepala qadi Baghdad, khalifah diperkenankan untuk memberikan pengesahannya, jubah kehormatan dan diploma wajib. Dengan satu pengecualian yang diketahui, al-Muthi' umumnya berkompilkasi dengan pelantikan amir tersebut.[29] Buwaihi menghimpun sorotan dekat terhadap khalifah, khususnya pada konflik periodik mereka dengan Hamdaniyah, sehingga ia dapat mengupayakan pengmbelotan pada mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Muttaqi. Pada pertempuran musim panas 946, kala Hamdanids sempat menduduki Baghdad Timur, ia dtempatkan di bawah penahanan rumah di sebuah gereja di Baghdad Barat, dan tak dibebaskan sampai ia menyatakan sumpah kesetiaan kepada Buwaihi.[30] Kala Mu'izz al-Dawla berkampanye melawan para pemberontak dari selatan Baghdad, al-Muthi' terpaksa untuk mendampingi penguasa Buwaihi, sehingga ia membelot ke utara kepada Hamdaniyah. Sebaliknya, kala amir al-umara Buwaihi berkampanye melawan Hamdaniyah di utara, al-Muthi' ditinggalkan pada bagian belakang di Baghdad.[31] Pada 948/49, Ispahdost, saudara ipar Mu'izz al-Dawla, ditangkap atas dakwaan bersekongkol dengan al-Muthi' (atau dengan Alid tak bernama).[32] Kala memegang kekuasaan, Mu'izz al-Dawla membagi bekas wilayah kekuasaan mahkota khalifah terhadap tentaranya, dan al-Muthi' mengisi dirinya sendiri dengan gaji harian 2.000 dirham perak. Kala Basra dipulihkan dari keluarga Baridi tak lama setelahnya, ia memegang wilayah khusus disana, meraih pemasukan sampai 200.000 dinar emas per tahun.[33][34] Walau penurunan besar Irak kemudian mengurangi pemasukannya oleh tiga perempat nilai aslinya, ini memperkenankan khalifah untuk mendukung para anggota klan Abbasiyah yang membutuhkan secara finansial, dan memberikan hadiah-hadiah kaya kepada Ka'bah.[33] Pemasukan juga digelontorkan untuk pembangunan serangkaian paviliun di lapangan istana khalifah: Istana Merak (Dar al-Tawawis), Balai Oktagon (Dar al-Muthammana) dan Balai Lapangan (Dar al-Murabba'a).[35][36] Hubungan bersitegang antara khalifah dan Buwaihi secara bertahap terhimpun sifat yang lebih biasa dan berkesinambungan: Buwaihi setidaknya secara resmi menghormati sisa pertanggungjawaban khalifah, dan al-Muthi' nampak menerima peran menonjolnya, meraih kembali beberapa kebebasan bertindak, dan menghimpun hubungan dekat dengan Mu'izz al-Dawla.[37][38] Pada 955/56, Mu'izz al-Dawla bahkan mengangkat putranya yang berusia 13 tahun, kelak Izz al-Dawla, selaku chamberlain khalifah.[39] Pengecualian paling terkenal pada hubungan baik antara khalifah dan amir al-umara adalah upaya yang ditujukan untuk menghimpun pengangkatan kepala qadi Baghdad kepada Abdallah ibn Abi al-Shawarib dengan bayaran 200.000 dirham per tahun antara 961 dan 963. Ini ditentang oleh para ulama Sunni dan Syiah karena ilegal, dan al-Muthi' enggan menandatangani pelantikan yang dibuat oleh Mu'izz al-Dawla pada masa itu.[3][40] Ini juga nyaris merupakan satu-satunya rujukan dalam sumber-sumber kegiatan al-Muthi' dalam lingkup keagamaan atau yudisial; yang lainnya masa kekuasaannya berlalu dalam kebungkaman.[41] Unsur positif dari penaungan tersebut adalah kestabilan.[2] Walau berpendirian cacat, al-Muthi' berkuasa selaku khalifah selama 29 tahun dan empat bulan Hijriyah, berseberangan dengan para pendahulunya yang berusia pendek, dan tak seperti mereka yang berurusan dengan sejumlah pretender pesaing pada kekhalifahan tersebut.[42] Cucu dari al-Muktafi memberontak di Armenia pada 960 dan mengklaim kekhalifahan tersebut sebagai al-Mustajir Billah sebelum dikalahkan oleh para penguasa Sallariyah lokal.[43][44] Pada 968, Abu'l-Hasan Muhammad, putra dari al-Mustakfi, yang kabur ke istana Ikhshidiyah di Mesir, meraih dukungan besar di Irak dengan menyembunyikan identitasnya dan berlagak sebagai Mahdi. Perubahan utama dari kepentingannya adalah seorang panglima Buwaihi berdarah Turk, Sübüktegin al-Ajami, yang memnberikannya perlindungan dan menyiapkan kudeta atas namanya, sebekum identitasnya terbongkar dan ia diserahkan kepada al-Muthi'.[44][45] khalifah tak memberikan hukuman berat padanya, selain memerintahkanpemotongan hidungnya, sehingga menyingkirkannya dari suksesi;[46] walau Abu'l-Hasan Muhammad kemudian memutuskan untuk kabur, harapannya merebut takhta tak pernah terwujud, dan sehingga suksesi khalifah masih bertahan dalam garis al-Muqtadir.[47] Menghadapi tantangan Syi'ah dan BizantiumDi luar wilayah kekuasaan Buwaihi, di sisi lain, otoritas khalifah Abbasiyah terhadap sebagian besar dunia Muslim menurun.[3] Sampai keputusan perdamaian dengan Buwaihi pada 955, Samaniyah dari Khurasan enggan mengakui kekhalifahannya,[2][48] dan, di barat, Kekhalifahan Fatimiyah Isma'ili pesaing bertumbuh makin kuat,[2] merebut Mesir pada 969 dan permulaan peluasannya ke Syam.[49] Bahkan di Baghdad, simpati pro-Syi'ah dari Buwaihi menandakan bahwa pengaruh Syi'ah, walau berjumlah kecil, bertumbuh. Pratek Syi'ah diperkenalkan ke kota tersebut, seperti ritual pengecaman terhadap khalifah Umayyah Mu'awiyah, atau perayaan Ghadir Khumm, diadakan sejak 963. bani Ali memegang kepemimpinan karavvan Haji tahunan, dan pertikaian jalanan antara partisan Sunni dan Syi'ah tercatat dalam beberapa tahun pada masa tersebut.[50] Pada saat yang sama, al-Muthi' memainkan peran utama selaku mediator dalam pembentukan koalisi anti-Fatimiyah yang meliputi Qarmatiyah di bawah al-Hasan al-A'sam dan penguasa Hamdaniyah Mosul, Abu Taghlib, dengan bekingan Buwaihi. Koalisi tersebut meutuskan untuk menghentikan perluasan Fatimiyah ke Syam sampai 973/74.[3][51] Dalam prosesnya, Qarmatiyah mengakui kedaulatan al-Muthi dalam khotbah Jumat dan koin-koin mereka, dan mengecap Fatimiyah sebagai penyaru.[3][52] Pada 951, kala Qarmatiyah mengembalikan Hajar Aswad ke Ka'bah di Makkah, yang mereka ambil pada 930,[53] al-Muthi' dirumorkan membayar mereka 30.000 dinar emas sebagai tebusan dari Hajar Aswad.[3] Sumber bahaya lain adalah laju Bizantium melawan Hamdaniyah di Mesopotamia Hulu dan Siria utara. Pada 960an, Bizantium menerobos perbatasan yang telah berusia berabad-abad di Pegunungan Taurus dan merebut Kilikia dan Antiokhia, menurunkan keamiran Hamdaniyah Aleppo menjadi vassal upeti dalam prosesnya.[54] Pada 972, penyerbuan Bizantium mencapai Nisibis, Amida, dan Edessa. Para pengungsi Muslim dari kota-kota tersebut membanjiri Baghdad dan memohon perlindungan. Tanpa kegendak dan tanpa kehandalan untuk menolong, Izz al-Dawla menyerahkan mereka kepada al-Muthi', karena jihad masih secara resmi menjadi pertanggungjawaban khalifah. Dalam hal sumber militer dan keuangan, al-Muthitak berdaya untuk membantu mereka, dan sehingga prestisenya terdera; kerusuhan menimpa kawasan Syi'ah Karkh, yang berujung pada kebakaran.[3][55][56] Izz al-Dawla memakai kesempatan tersebut untuk menekan al-Muthi' agar menjual harta-harta berharganya dan menyediakan 400.000 dirham, yang dipakai untuk mengerahkan para prajurit melawan Bizantium. Al-Muthi' melakukan protes dalam surat yang banyak dikutip, namun tak memiliki opsi selain untuk menaatinya; uang tersebut kemudian diserahkan oleh penguasa Buwaihi. Tindakan tersebut berujung pada kekeliruan politik untuk Izz al-Dawla, yang makin mengucilkan simpati Sunni di Baghdad, tempat kendalinya bertumbuh makin menekan.[57][58] Abdikasi dan kematianSepanjang bertahun-tahun, Izz al-Dawla makin mengucilkan prajurit Turkic-nya, di bawah panglima mereka Sabuktakin, berpuncak pada upaya pembunuhan gagal terhadapnya.[59] Orang-orang Turki juga meraih dukungan dari penduduk Sunni di Baghdad setelah meredam kerusuhan pada 972.[58] Akibatnya, pada 1 Agustus 974, Sabuktakin merebut kendali Baghdad dari Izz al-Dawla.[3] Kala kudeta terjadi, al-Muthi' meninggalkan Baghdad bersama dengan para anggota klan Buwaihi, namun Sabuktakin memaksanya kembali dan menahannya di istananya.[3][60] Pada tahun-tahun berikutnya, dan dengan sisi kanannya lumpuh usai stroke pada 970,[3][61][62] al-Muthi' memutuskan untuk abdikasi dengan kesehatan sebagai alasannya, dan digantikan oleh putranya Abd al-Karim, sebagai al-Ta'i (m. 974–991), pada 5 Agustus.[2][3][63] ini adalah suksesi ayah ke putra pertama dari kekhalifahan tersebut sejak al-Muktafi pada 902.[61] Sabuktakin sendiri diangkat menjadi amir al-umara oleh khalifah baru,[64] dan meninggalkan Baghdad untuk kampanye melawan Buwaihi, didampingi oleh al-Muthi' dan al-Ta'i.[3] Al-Muthi' wafat kala perjalanan, di Dayr al-Aqul, pada 12 Oktober 974.[2][3] ia dikebumikan di mausoleum nenek pihak ayahnya, Shaghab, di kawasan al-Rusafa, Baghdad, tempat saudaranya al-Radi juga dikebumikan.[65] Catatan
Referensi
Sumber
|