Aelia Eudocia
Aelia Eudocia Augusta (sek. tahun 401โ460) merupakan istri Theodosius II, dan seorang tokoh sejarah terkemuka di dalam pemahaman kemunculan Kristen pada awal Kekaisaran Romawi Timur. Eudocia hidup didunia di mana paganisme Yunani dan Kristen berdampingan dengan orang-orang Kafir dan di mana umat Kristen Ortodoks dianiaya.[1] Meskipun karya Eudocia sebagian besar telah diabaikan oleh para sarjana modern, puisi dan karya sastra adalah contoh yang bagus tentang bagaimana umat Kristen dan pendidikan Yunani yang saling berkaitan, mencontohkan warisan Kekaisaran Romawi Timur yang tertinggal didunia Kristen. Kehidupan AwalAelia Eudocia dilahirkan pada sekitar tahun 400 di Athena dari seorang filsuf yang bernama Leontius. Leontius mengajarkan Rhetoric disebuah akademi, di mana orang dari sepenjuru Mediterania datang baik untuk mengajar atau belajar. Nama asli Eudocia adalah Athenais, orangtuanya menamakannya seperti pelindung kota Pallas-Athena.[2] Ayahnya kaya raya, dan memiliki sebuah rumah yang megah di Akropolis, yang memiliki taman yang sangat luas dan Athenais serig bermain disana semasa kecilnya.[2] Ia memiliki bakat atas hafalan dan mudah mempelajari puisi Homer dan Pindar yang ayahandanya bacakan untuknya. Ketika ia berusia 12 tahun, ibundanya meninggal dan ia bertanggung jawab atas pekerjaan ibunya, dengan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, membesarkan saudara-saudaranya dan merawat ayahnya. Ia memiliki dua saudara, Gessius dan Valerius, yang kemudian diberikan penghargaan diistana oleh saudara dan saudari iparnya. Sebagai gantinya, ayahnya menghabiskan waktunya dengan mengajarkannya retorik, puisi dan filsafat. Ia mengajarkannya "Kebajikan Moderasi Pengetahuan Socrates", dan meramalkan baha ia akan memiliki takdir yang besar.[3] Ajaran dan peran ayahnya memang mempersiapkannya atas takdirnya yang besar. Seperti ayahnya, ia pada dasarnya segalanya Athenais dan ketika ayahandanya meninggal pada tahun 420, ia merasa sangat terpukul. Dan ia merasa lebih terpukul setelah mengetahui bahwa seluruh warisan yang ditinggalkan ayahnya untuk saudara-saudaranya dan hanya meninggalkannya dengan 100 uang logam, yang menyatakan bahwa "cukup baginya dan adalah takdirnya untuk menjadi seorang wanita terkemuka".[3] Hal tersebut lebih mengkhawatirkan Athenais dan tidak mengira bahwa hal tersebut adil sama sekali. Ia adalah orang kepercayaan ayahandanya dan ia mengharapkan warisannya lebih dari 100 uang logam. Ia memohon pada saudara-saudaranya untuk memberikannya bagian warisan yang sama namun hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh saudara-saudaranya. Athenais tidak memiliki apa-apa lagi didunia selain dari 100 uang logam tersebut, dan segala sesuatu yang ia ketahui dan cintai telah hilang. Athenais kemudian tinggal dengan bibinya setelah ayahandanya meninggal ketika ia berusia 20 tahun. Bibinya menyuruhnya untuk pergi ke Konstantinopel untuk "meminta keadilan dari Kaisar", yang akan memberinya keadilan atas warisan dari ayahandanya.[4] Ayahandanya sangat berdampak dan mempengaruhi karya sastranya dikemudian hari setelah ia menjadi Permaisuri. Kehidupan sebagai permaisuriLegenda mengisahkan bahwa ketika Theodosius II berumur 20 tahun, dia ingin menikah. Dia berbicara dengan adiknya Pulcheria, yang mulai mencari seorang gadis yang cocok untuk kakaknya, yang baik "berdarah ningrat atau imperial."[5] Teman semasa kecilnya Paulinus juga membantu Theodosius untuk mendapatkan jodohnya.[5] Pencarian Kaisar kebetulan dimulai pada saat Athenais telah tiba di Konstantinopel. Pulcheria mendengar kabar tentang gadis muda tersebut, yang hanya memiliki 100 uang logam atas namanya, dan ketika ia menemuinya ia "terpesona atas kecantikannya dan atas kecerdasan yang ditunjukkan atas keluhannya."[5] Setelah melaporkan kembali ke kakaknya, ia mengatakan bahwa ia telah "menemukan seorang gadis muda, seorang Yunani yang sangat cantik dan polos, putri dari seorang filsuf," dan Theodosius yang muda dan penuh hasrat langsung jatuh cinta kepadanya.[5] Athenais dibesarkan secara pagan, dan harus masuk Kristen untuk dapat menikah dengan Theodosius II. Kaisar mengganti namanya menjadi Eudocia dan memperistrinya. Mereka melangsungkan pernikahan pada tanggal 7 Juni 421 dan ada laporan yang menyatakan bahwa Theodosius merayakan pernikahan dengan ras kereta di hippodrome."[6] Saudara-saudaranya yang menolaknya setelah kematian ayahanda mereka yang cemas akan dijatuhi hukuman setelah ia menjadi Permaisuri, melarikan diri. Namun Eudocia tidak menghukum mereka dan bahkan memanggil mereka kembali ke Konstantinopel, dan Theodosius memberikan mereka penghargaan. Ia membuat Gessius praetorian prefect di Illycricum dan membuat Valerius magister officiorum.[7] Mereka diberikan penghargaan karena Eudocia percaya bahwa tindakan kejam mereka berasal dari kecemburuan akan takdirnya dan bukan dari tindakan balas dendam. Ia juga menjadikan sahabat baiknya, Paulinus magister officiorum, karena telah menolongnya untuk mendapatkan jodohnya.[7] Naumun ini adalah sebuah rekayasa meskipun klaim atas keasliannya dapat diterima dikalangan sejarawan. Versi paling awal dari cerita ini muncul lebih dari satu abad setelah kematian Eudocia di dalam "Kronik dunia John Malalas, seorang penulis yang tidak selalu membedakan antara sejarah otentik dan memori popuer peristiwa yang diresapi dengan motif dongeng."[7] Fakta bahwa ia adalah putri dari Leonitius dan awalnya memiliki nama Athenais, menurut sejarawan Yunani Socrates Konstantinopel, dan seorang sejarawan kontemporer yang bernama Priscus dari Panion; namun mereka meninggalkan peran Pulcheria di dalam permainan jodoh untuk saudaranya.[6] Sajarawan Sozomen dan Theodoret tidak memasukkan Eudocia di dalam kisah sejarah mereka karena mereka menulisnya setelah Eudocia telah jatuh namanya.[7] KeturunanEudocia memiliki tiga anak dengan Theodosius II.[8] Licinia Eudoxia, lahir pada tahun 422 merupakan anak sulung. Licinia Eudoxia telah dijodohkan dengan sepupunya, kaisar barat Valentinian III sejak kelahirannya, dan menikah pada tanggal 29 Oktober 437.[9] Anka keduanya, Flaccilla, meninggal pada tahun 431.[10] Arcadius merupakan putra satu-satunya dan meninggal balita. Hanya setahun setelah ia melahirkan anak pertamanya, Eudocia diproklamasikan sebagai Augusta oleh suaminya pada tanggal 2 Januari 423.[11] ZiarahSetelah dinamai Augusta, ia menjadi pewaris kakak iparnya, Pulcheria yang telah menjadi Augusta sejak tahun 414. Persaingan kekuasaan terjadi di antara kedua wanita tersebut. Eudocia iri atas jumlah daya yang dimiliki Pulcheria di dalam pengadilan, dan Pulcheria iri atas kekuatan Eudocia yang dapat mengklaim darinya. Hubungan mereka menciptakan "suasana saleh" di dalam istana kekaisaran, dan kemungkinan penjelasan dari mengapa Eudocia melakukan perjalanan ke Tanah Suci pada tahun 438. PembuanganRumor mengatakan bahwa Eudocia dibuang dari pengadilan menuju bagian akhir hidupnya karena perzinahan. Theodosius mencurigainya berzinah dengan teman semasa kecilnya, dan seorang penasihat pengadilan Paulinus.[10] Menurut Malalas' dari cerita ini, Theodosius II memberikan Eudocia sebuah apel Phrygia yang sangat besar sebagai hadiah. Pada suatu hari, Paulinus memperlihatkan kaisar buah yang sama, yang tidak mengetahui bahwa kaisar telah memberikannya kepada Eudocia sebagai hadiah. Ia dapat mengenali apel tersebut dan berdebat dengan Eudocia yang bersumpah telah memakannya. Sangkalan Eudocia membuat kaisar percaya bahwa ia telah jatuh cinta dengan Paulinus dan berselingkuh dengannya, bahwa ia akan memberikan sahabat baiknya buah apel yang sama sebagai tanda cintanya. Theodosius mengeksekusi mati Paulinus, dan membuang Eudocia dari istana pada tahun 443.[12] Ia selanjutnya hidup di Yerusalem, di mana ia memfokuskan dirinya dengan menulis literaturnya sendiri. KematianEudocia meninggal pada tanggal 20 Oktober 460 dan dimakamkan di Yerusalem di dalam Gereja Santo Stefanus.[13] Permaisuri tidak pernah kembali ke istana kekaisaran di Konstantinopel, tetapi "ia mempertahankan martabat kekaisaran dan terlibat di dalam substansial program euergetistik."[14] GubahanEudocia kemungkinan menulis banyak literatur setelah meninggalkan istana, tetapi hanya beberapa saja yang masih ada sampai saat ini. Eudocia "menulis di dalam hexameter, yang merupakan ayat-ayat puisi berepik tema-tema Kristen."[10] Ia menulis sebuah puisi yang berjudul Kesyahidan Santo Siprianus di dalam dua buku, yang 800 lembarnya selamat, dan sebuah prasasti dari sebuah puisi di atas pemandian Hammat Gader.[10] Bagian yang paling dipelajari dari literaturnya adalah Homeric cento, yang baru-baru ini telah dianalisis oleh beberapa sarjana seperti Mark Usher dan Brian Sower. Eudocia merupakan seorang penyair terpelajar yang telah diabaikan karena "kurangnya teks yang lengkap dan berwibawa.โ[15] Kesyahidan Santo SiprianusTerdapat tiga buku (atau volume) di dalam puisi epik ini, yang mengisahkan bagaimana "Justa, seorang perawan Kristen mengalahkan seorang penyulap Siprianus melalui kepercayaannya kepada Tuhan. Siprianus disewa oleh Aglaidas untuk memaksa Justa untuk mencintainya. Kisah tersebut berakhir dengan konversi Siprianus, ia dengan pesat naik pangkat sebagai Uskup, dan Justa menjadi Deaken, dengan nama barunya, Yustina."[16] Kisah ini adalah fiktif, meskipun paralel di antara karakter Eudocia Justa dan Eudocia sendiri menarik, karena keduanya menjadi Kristen dan mengubah nama mereka setelah berhasil berkuasa. Meskipun beberapa teks telah hilang, sebagian besar telah diparafrasekan oleh Photius. Puisi tersebut sangat panjang meskipun tidak semuanya hidup berabad-abad, dan dapat ditemukan di Penulis Wanita Yunani Kuno dan Roma, diedit oleh I. M. Plant. WarisanEudocia merupakan seorang tokoh Judy Chicago di dalam karyanya The Dinner Party, yang mewakili salah satu dari 999 nama atas Lantai Penghargaan.[17][18] Referensi
Sumber
Pranala luar
|