Aborsi tidak langsung

Dalam teologi Katolik, aborsi tidak langsung (bahasa Inggris: indirect abortion) adalah setiap prosedur medis yang tidak hanya memiliki suatu dampak medis terapeutik tetapi juga mengakibatkan terjadinya aborsi sebagai suatu "efek sekunder". Edwin F. Healy membedakan antara "aborsi langsung", yaitu aborsi yang merupakan suatu tujuan ataupun sarana, dengan "aborsi tidak langsung" yang memandang kematian janin sebagai suatu "efek sekunder".[1]

Sebagai contoh, jika seorang ibu mengalami kehamilan ektopik (janin/fetus berkembang di dalam tuba fallopinya, bukan rahim) maka dokter dapat mengangkat tuba falopi tersebut sebagai perlakuan terapeutik untuk mencegah kematian sang ibu. Janinnya tidak akan bertahan hidup dalam waktu lama setelah itu, tetapi intensi dari prosedur tersebut dan tindakannya adalah untuk mempertahankan kehidupan sang ibu. Oleh karena itu tidak dipandang sebagai aborsi langsung.

Dari kedua paragraf sebelumnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara "aborsi langsung" dan "aborsi tidak langsung" adalah antara kasus-kasus di mana kehidupan sang ibu mungkin "dalam bahaya", dan kasus-kasus di mana sang ibu hampir pasti akan meninggal tanpa dilakukannya prosedur yang juga secara insidental membunuh janinnya. Namun, hal ini tidak berarti Gereja Katolik mengajarkan bahwa aborsi langsung, sekalipun dimaksudkan untuk menyelamatkan kehidupan seorang ibu, akan dapat diterima.[2][3]

Humanae vitae

Pandangan ini juga terdapat dalam ensiklik Humanae vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968, yang menyebutkan bahwa "Gereja tidak sama sekali memandang terlarang penggunaan sarana-sarana terapeutik yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit jasmani, sekalipun jika suatu halangan bagi prokreasi diperkirakan akan dihasilkan darinya—asalkan halangan tersebut tidak secara langsung dimaksudkan untuk motif apapun". Paus Paulus VI mengutip kata-kata Paus Pius XII dalam suatu sambutan pada tahun 1953 kepada Asosiasi Urologi Italia.

Perbedaan dengan aborsi terapeutik

Menurut Uskup Agung Jose Antonio Eguren di Peru, aborsi tak langsung tidaklah sama dengan suatu aborsi terapeutik. Ia menegaskan bahwa aborsi tak langsung merupakan suatu kasus moral luar biasa yang tidak ada kaitannya dengan 'aborsi terapeutik'; dalam doktrin Katolik, aborsi terapeutik sama sekali tidak ada, karena aborsi tidak pernah merupakan obat untuk apa pun juga.[4]

Potensi kerancuan dengan aborsi langsung

Menurut Kardinal Elio Sgreccia, Ketua Akademi Kepausan untuk Kehidupan, sejumlah besar indikasi yang diajukan untuk melakukan aborsi terapeutik kehilangan kerasionalannya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa perluasan secara bertahap indikasi-indikasi ini di luar ruang lingkup kedokteran sering kali digerakkan oleh alasan-alasan politik, sebagian darinya berhubungan dengan gerakan eugenika.[5]

Tuberkulosis, kardiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit pada sistem hematopoietik (beberapa bentuk anemia), penyakit ginjal, penyakit pankreas dan hati, penyakit pencernaan, korea terkait kehamilan, miastenia gravis, serta tumor, kesemuanya ini diklaim sebagai motif-motif untuk mengajukan indikasi tersebut.

Namun, suatu studi menyeluruh atas masing-masingnya memperlihatkan bahwa landasan medis dari motif-motif tersebut sangat terbatas, dan bahwa dalam kasus-kasus di mana, dalam ketiadaan suatu alternatif terapeutik, tetap ada suatu risiko nyata bagi kehidupan atau kesehatan sang ibu, kasus-kasus ini cenderung mengalami penurunan yang progresif dan kuat.[6]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) Indirect Abortion (Taken from "Medical Ethics" by Edwin F. Healy) Diarsipkan 2018-12-24 di Wayback Machine.
  2. ^ (Inggris) "The Fifth Commandment" in Catechism of the Catholic Church
  3. ^ (Inggris) Catholic News Agency: "Sister violated more than Catholic teaching in sanctioning abortion, ethicist says" May 19, 2010
  4. ^ (Inggris) Judge manipulates statements by Father Lombardi to push for abortion in Nicaragua Diarsipkan 2009-04-09 di Wayback Machine.
  5. ^ (Prancis) Sgreccia, Elio. Manuel de bioéthique. Paris, Mame-Edifa, 2004, p. 486
  6. ^ (Prancis) Sgreccia, Elio. Manuel de bioéthique. Paris, Mame-Edifa, 2004, p. 488
Kembali kehalaman sebelumnya