Abdullah C.D.
Che Dat bin Anjang Abdullah atau lebih dikenal dengan Abdullah C.D Cik Dat bin Anjang Abdullah (2 Oktober 1923 – 13 Januari 2024) adalah adalah seorang politikus Malaysia yang menjabat sebagai ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Malaya (PKM).[1] Kehidupan awal dan karierAbdullah C.D dilahirkan pada 2 Oktober 1923 di Parit, Perak dari orang tua Melayu keturunan Minangkabau[2] yang berjuang dengan senjata di dalam hutan, menentang penjajahan Jepang dan Inggris di Tanah Melayu.[3] Ia menempuh pendidikan hingga kelas lima di Sekolah Melayu Parit, sebelum melanjutkan studinya di Sekolah Inggris Tapah. Kemudian, ia belajar di Sekolah Inggris Clifford di Kuala Kangsar hingga kelas tujuh sebelum berhenti ketika pecah Perang Dunia Kedua.[4] Kariernya dimulai ketika ia bergabung dengan Kesatuan Muda Melayu (KMM), dan menjadi sekretaris KMM di distrik Lambor, Perak pada masa awal pendudukan Jepang. Abdullah CD akhirnya bergabung dengan tentara Rakyat Malaya Anti-Jepang (MPAJA). Pada bulan Oktober 1945, Abdullah turut mendirikan Parti Kebangsaan Melayu Muda (PKMM) bersama Burhanuddin al-Hilmi, Ahmad Boestamam, Mukhtaruddin Lasso, dan Ishak Haji Mohamad. Ia bertanggung jawab untuk mengorganisir gerakan buruh Melayu, dan terpilih sebagai Wakil Presiden dari Federasi Serikat Buruh Pan-Melayu (PMFTU).Pada 20 Juni 1948 penjajah Inggris melarangkan semua partai yang pro merdeka termasuk partai pro merdeka yang Islam, kecuali UMNO dibiarkan oleh Inggris. Ketika Inggris mengumumkan keadaan darurat, Abdullah memimpin banyak anggota dari CPM, PKMM, API (Angkatan Pemuda Insaf), AWAS dan PETA melakukan revolusi gerilya anti-Inggris di hutan Malaya. Pada bulan Juli 1948, dia ditangkap di Pahang utara, namun dia berhasil melarikan diri. Pada tanggal 12 Mei 1949, dia dilantik menjadi komandan resimen ke-10 PKM di Temerloh, Pahang,[5] yang mengetuai pasukan komunis Melayu untuk kawasan Narathiwat di perbatasan Malaysia-Thailand, dan mendapat instruksi langsung dari pemimpin nomor 1, Chin Peng.[6] Setelah kemerdekaan, dia terus memberontak terhadap pemerintah Malaysia hingga tercapai perdamaian pada tanggal 2 Desember 1989. Pada tahun 1989, PKM meletakkan senjatanya dan keluar dari hutan di perbatasan Thailand untuk menandatangani perjanjian damai yang dikenal sebagai Perundingan Damai Haadyai di Hat Yai, Thailand.[7] Pasca Perjanjian Damai Haadyai antara pemerintah Malaysia dan pemerintah Thailand, ia dan sebagian besar anggota PKM, termasuk istrinya, Suriani Abdullah, tidak lagi mengikatkan diri pada kebijakan perjuangan bersenjata. Seluruh persediaan senjata juga dimusnahkan sesuai dengan perjanjian. Mantan Sekretaris Jenderal PKM, Chin Peng datang menemui mereka beberapa hari sebelum perundingan damai dan menyampaikan tanggapan dari anggota PKM yang sendiri sepakat untuk mengakhiri perang. Suriani mengklaim perjanjian ini merupakan penyelesaian yang terhormat, bukan penyerahan diri.[4] Kini, Abdullah adalah pemimpin dari 436 warga Desa Banchulabhorn Pattana 12 di distrik Sukhirin, Thailand Selatan, yang sebagian besar bercocok tanam karet dan bertani untuk mencari nafkah.[4] Dia juga memegang kewarganegaraan Thailand.[8] Kehidupan pribadi dan wafatAbdullah menikah dengan Suriani Abdullah (Eng Ching Ming), seorang gadis Tionghoa yang juga menjadi pengurus dalam Partai Komunis Malaya.[9] Referensi
|