Abdul Hamid Abulung al-Banjari
Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan, pada abad ke 18 tersebutlah tiga nama tokoh yang ternama dan masyhur di tengah-tengah masyarakat waktu itu, yaitu:
Pada masa pemerintahan Sultan Tahlillullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari muda keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al-Mukaramah untuk menuntut ilmu agama. Saat kepulangan dari menuntut ilmupun tidak diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, Syekh Abdul Hamid Datu Abulung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah.[3] RiwayatPada masa Kesultanan Banjar diperintah oleh Sultan Tahlilullah, ia dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diberangkatkan oleh Kesultanan banjar untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan ke tanah suci Mekkah. Namun sepak terjangnya tidak banyak yang mengetahui karena ia tidak meninggalkan kitab karangan seperti ulama-ulama lainnya.[4] Wahdatul WujudSyeikh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung memiliki paham tasawuf Wahdatul Wujud yang dipengaruhi aliran ittiihad Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, dan Syekh Siti Jenar.[4] Dalam mengembangkan paham tersebut, dia mengenalkan ajaran "Ilmu Sabuku", yaitu ilmu tasawuf yang menyatukan antara Tuhan dan hamba. Menurut K.H. Irsayd Zein (Abu Daudi), inti Ilmu Sabuku dari Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai berikut.
Kemudian, ilmu ini diajarkan kepada murid-muridnya yang berjumlah sepuluh orang, dimana mereka mengembangkan ilmu tersebut meskipun Datu Abulung telah dihukum mati oleh Sultan Tahmidullah II.[5] Hubungan dengan Kesultanan BanjarKesempatan Datu Abulung dalam mengembangkan ajarannya mulai membuat hubungannya dengan Sultan Tahmidullah II dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjadi tidak harmonis. Hal ini berujung pada perintah hukuman mati oleh sultan akibat tidak menaati perintah sultan untuk menghentikan ajarannya. Dalam perintah hukuman mati tersebut, Sultan Tahmidullah II meminta pendapat Datu Kalampayan terlebih dahulu. Menurut Datu Kalampayan, sultan harus bernegoisasi dengan Datu Abulung dan jika dia tidak menerima, maka keputusan diserahkan kepada sultan.[2][4][5] Perlawanan Datu Abulung terhadap Sultan Tahmidullah II sangat mungkin berkaitan dengan memanasnya suhu politik kesultanan, khususnya berkaitan dengan tuntutan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah atas tahta kesultanan. Dalam kasus ini, Datu Abulung kemungkinan mendukung pangeran sehingga hanya dia yang berhak memanggil Datu Abulung ke istana karena menurut Datu Abulung, pangeran lebih berhak mewarisi tahta ketimbang sultan yang berkuasa pada saat itu. Pada tahun 1760, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah menuntut haknya sebagai pewaris tahta kesultanan dari Sultan Tamjidillah yang merupakan paman dan mertuanya sendiri. Namun, pada tahun 1761, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal dan meninggalkan beberapa anak yang berhak menjadi sultan, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat, dan Pangeran Amir. Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat mati tercekik, sedangkan Pangeran Amir berpura-pura menunaikan haji ke Makkah agar dia dapat bertemu pamannya, Arung Turawe dari Paser dan merebut Martapura. Perebutan kekuasaan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sultan Tahmidullah II.[5] Sikap Sultan Tamjidillah dan Sultan Tahmidullah II dalam hal tahta perebutan kesultanan atas keturunan Sultan Hamidullah, rupanya tidak disenangi oleh Datu Abulung sehingga kedudukannya tidak didukung oleh Datu Abulung. Hal ini dikarenakan Sultan Hamidullah membiayai Datu Abulung dalam menuntut ilmu ke Makkah, sehingga Datu Abulung mendukung Pangeran Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah untuk menjadi Sultan Banjar. Terlebih lagi, Sultan Tamjidillah dinilai bersahabat dengan Belanda dan melakukan perjanjian kontrak yang pada 18 Mei 1747 yang isinya bahwa Belanda berhak mendapat monopoli lada, emas, dan intan. Mengingat perjanjian yang lebih menguntungkan Belanda dan elit kesultanan ketimbang masyarakat Banjar, khususnya dari kalangan pedagang, Datu Abulung bersikap lebih kritis terhadap elit kesultanan sehingga sering dianggap para elit tersebut sebagai pembangkangan.[5] TarekatSyekh Abdul Hamid Abulung termasuk orang yang menganut aliran tarekat Naqsabandiyah, dimana dia juga menyebarkan tarekat tersebut di sepanjang aliran Sungai Martapura, mulai dari Sungai Tabuk, Abulung, Lok Buntar, Lok Baintan, Sungai Batang, Sungai Rangas, dan sekitar aliran Sungai Riam Kiwa. Salah satu ajarannya yang dikenal masyarakat yaitu zikir "banasib dengan bapajah lampu", dimana dalam praktiknya, memadamkan lampu saat zikir sangat lazim dilakukan, khususnya zikir yang diiringi dengan nasyid, sehingga sering disebut "zikir dengan bapajah lampu". Sepeninggalan Datu Abulung, zikir ini disebarkan oleh murid-muridnya dan diteruskan dari generasi ke generasi.[5] Salah satu orang yang mengembangkan zikir ini di antaranya Abu Hasan Haji Abdullah Mu'ti yang belajar kepada Haji Muhammad Nur dari Takisung (meninggal pada tahun 1993). Lalu, Haji Muhammad Nur ini belajar ilmu ini kepada Haji Ibrahim Hawranie. Lalu, Haji Muhammad Nur belajar ilmu ini kepada Haji Muhammad Amin. Kemudian, Haji Muhammad Amin belajar ilmu ini kepada ke Haji Abdullah Khatib. Lalu, Haji Abdullah Khatib belajar ilmu ini kepada Haji Abdul Hamim yang belajar ilmu ini dengan Syekh Abdul Hamid Abulung.[5] Pangeran Antasari, yang merupakan keturunan dari Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, yang tinggal di Antasan Senor, disinyalir nerupakan pengikut tarekat ini, sekaligus pengikut tarekat Samaniyah yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.[5] Hukuman matiDatu Abulung ditangkap oleh pihak kesultanan karena menyebarkan ajaran Wahdatul Wujud. Dia dimasukkan ke dalam kurungan besi dan ditenggelamkan ke dalam Sungai Martapura di kawasan Lok Buntar atau Sungai Batang Banyu Abulung. Ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa sewaktu dia ingin melaksanakan salat Shubuh, tiba-tiba kurungan besinya terangkat sampai di permukaan air sungai, sehingga dia salat di atas permukaan air. Ketika dia selesai menunaikan salat, dia masuk ke kurungannya dan kurungannya tersebut tenggelam kembali. Hal ini terjadi terus menerus ketika waktu salat lima waktu telah tiba dan pernah disaksikan oleh beberapa orang, termasuk sepuluh orang pencari ikan yang kelak menjadi muridnya (mereka ini digelari Orang Sepuluh) dan menjadi pegawai kesultanan.[6] Melihat kejadian tersebut, sultan memanggil Datu Abulung untuk mengubah hukumannya menjadi hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya. Menurut suatu riwayat, Datu Abulung berkata bahwa dia tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika sultan ingin membinasakannya, dia harus menggunakan senjata yang ada di dinding rumahnya dan menancapkannya di pergelangannya. Oleh karena itu, sultan memerintahkan ajudannya untuk mengambil senjata tersebut dan menggunakannya untuk menghukum Datu Abulung. Ketika Datu Abulung hendak dieksekusi, dia meminta izin kepada sultan untuk melaksanakan salat dua rakaat dan setetah selesai salat, eksekusi dilakukan dengan menusukkan senjata di pergelangannya oleh petugas kesultanan. Ketika sultan menengok ruang eksekusi, dia melihat ceceran darah dari urat nadi pergelangan Datu Abulung yang membentuk tulisan "Laa Ilaaha Illallah, Muhammadur Rasulullah" (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Selain itu, sultan melihat tubuh Datu Abulung dalam keadaan tidak bernyawa dengan posisi sujud. Cerita eksekusi Datu Abulung ini memiliki kemiripan dengan cerita kematian Syekh Siti Jenar dari Jawa dan Al-Hallaj dari Irak.[5][6] DIa dimakamkan di Kampung Abulung, yaitu kini berada di Kecamatan Sungai Batang, Martapura Barat, Kabupaten Banjar.[2][4] WarisanMasjid Jami Datu AbulungKemudian Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801 membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.[7] Karya tulisSyekh Abdul Hamid Abulung dinilai kering karya tulis. Karena hingga saat ini hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh Abdul Hamid mengenai Tasawuf yang bisa dilacak, dan itu pun sangat terbatas. Di Kalimantan Selatan sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh Abdul Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai “Asal Kejadian Nur Muhammad”. Namun tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.[4] Ilmu SabukuIlmu Sabuku merupakan ilmu tasawuf yang dikenalkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai ilmu yang mempelajari tentang penyatuan Tuhan dengan hamba. Dalam pengertian pengikut paham ini, manusia sudah menjadi satu dengan Allah taala. Pada tahun 1990-an, penganut aliran ini masih dapat ditemui. Konon, ada seseorang yang meminta ijazah ilmu ini kepada seorang ulama yang bernamaTuan Guru Haji Ahmad Pamakuan, namun ditolak oleh ulama tersebut karena menurutnya, ilmu ini perlu diluruskan dengan menuntut ilmu tasawuf kepada ulama yang lebih ahli dalam memahami isi dan maksud kitab-kitab tasawuf.[5] Referensi
|