Ólafur Ragnar GrímssonÓlafur Ragnar Grímsson (ˈou:lavʏr ˈraknar ˈkrimsɔn ) (lahir 14 Mei 1943) adalah Presiden Islandia kelima yang saat ini sedang menjabat, dari 1996-2016. Ia terpilih dalam pemilihan awal pada tahun 2000 dan menang kembali dalam pemilu tahap ketiga pada tahun 2004. Periode 1962 hingga 1970, ia studi ekonomi dan pengetahuan politik di University of Manchester. Ia merupakan profesor ilmu politik di Universitas Islandia, menjabat sebagai anggota Alþingi. Ia juga menjadi MenKeu (1988–1991) dan ketua Aliansi Rakyat yang beraliran kiri (1987–1995). Ia menikah dengan Guðrún Katrín Þorbergsdóttir pada tahun 1974, yang melahirkan sepasang puteri kembar pada tahun erikutnya. Guðrún Katrín amat terkenal di Islandia, dan tak diragukan lagi, perbawanya membuat suaminya dipilih; ia mempesonakan bangsa Islandia dari awal kampanye. Kematiannya akibat leukaemia pada tahun 1998 mengejutkan bangsa dan keluarganya. Ólafur menikah kembali dengan Dorrit Moussaieff yang telah bertunangan sejak bulan Mei 2000. Ini terjadi pada UlTah ke-60 Ólafur, dalam upacara pribadi di kediaman kepresidenan. Ia merupakan presiden pertama yang menggunakan hak yang diberikan dalam Konstitusi Islandia pasal XXVI untuk memveto hukum dari Alþingi, di mana hukum yang bersangkutan akan diajukan dalam referendum nasional Ia melakukan hal itu pada tanggal 2 Juni 2004 atas hukum media massa. Keputusannya tetap kontroversial dengan politikus dan sarjana hukum. Beberapa orang menganggap veto itu merupakan "serangan" pada Althingi dan kedaulatan parlemen dan para pengacara memperdebatkan apakah pasal XXVI itu sah. Tidak pernah referendum nasional diselenggarkan tentang hukum media massa kontroversial sementara pemerintah menarik hukum sebelum referendum diselenggarakan. Dalam Pilpres 2004, Ólafur terpilih kembali dengan suara 67,5% (menurun dari lebih dari 95% dalam satu-satunya waktu lain ketika pemerintahan yang sedang menjabat digugat)); pemilihan tersebut juga memperlihatkan catatan jumlah surat suara yang kosong sekitar 21,2% dan khususnya serendah 63% (biasanya 80-90%), yang ditafsirkan tak sepakat dengan keputusan pemerintah untuk tidak menandatangani hukum media massa. Sejak saat itu, masalah amendemen konstitusi untuk mencabut hak veto presiden diangkat oleh Partai Kemerdekaan. Beberapa pihak juga menginginkan dihentikannya hak tersebut oleh rakyat, yang kemudian dapat mengharuskan referendum diselenggarakan secara dengan - sebagai contoh - mengumpulkan sejumlah tanda tangan.
|